Tunjangan Guru Perbatasan di Wetar Diduga Ditilep Pejabat Disdikpora MBD
http://www.beritamalukuonline.com/2013/11/tunjangan-guru-perbatasan-di-wetar.html
Ambon - Berita Maluku. Sudah jatuh, lagi tertimpa tangga. Ungkapan ini dirasakan sendiri guru-guru terpencil yang mengabdi di pulau-pulau perbatasan di Kabupaten Maluku Barat Daya. Meski relatif sengsara dan penuh risiko selama menjalankan misi mencerdaskan generasi muda bangsa di pelosok Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), namun hak-hak dan tunjangan-tunjangan guru wilayah perbatasan sengaja ditilep oknum-oknum tak bertanggung jawab di Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga setempat.
Thomas Letelay, Kepala Sekolah Menengah Pertama (SMP) Satu Atap di Desa Karbubu, Kecamatan Wetar Barat, Kabupaten MBD, mengisahkan selama mengabdi di salah satu pulau perbatasan Republik Indonesia-Timor Leste itu pada 2010, pihaknya belum pernah sekali pun menerima hak maupun tunjangan guru perbatasan.
’’Saya dan saudara saya yang juga guru di Kisar (pulau Perbatasan lain di MBD) Steven Letelay pernah mengecek informasi ini ke Dinas Pendidikan Maluku, dan ada data-data sekolah yang menerima tunjangan itu, termasuk sekolah di Karbubu dan Kisar. Tapi, kami tidak tahu selama ini siapa yang ambil tunjangan-tunjangan itu,’’ beber mantan guru SMP Hang Tuah Lantamal IX di Ambon, Sabtu (2/11/2013).
Letelay juga membeberkan manipulasi data yang diduga dilakukan oknum pejabat Disdikpora MBD terkait tunjangan bagi guru-guru perbatasan yang lagi mengejar sertifikasi dengan mengikuti kuliah lanjut di Ambon, Maluku dan Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Pasalnya, ada guru SMP Negeri 2 Pulau-pulau Terselatan di Desa Romang, Izaack Lutaporu, yang tidak kuliah namun diberikan tunjangan tiap bulan sebagai mahasiswa. ’’Saudara Izaak bilang buat saya, katanya ada namanya, tapi dia tak ambil uang tersebut, karena itu bukan haknya,’’ ujarnya mengutip pengakuan Lutaporu.
Letelay mengakui mengabdi di pulau perbatasan sangat memprihatinkan dan butuh kesabaran. Selain sulitnya transportasi, dan minimnya sarana komunikasi, tingginya biaya hidup menjadi risiko yang harus ditanggung para pahlawan tanpa tanda jasa di pulau-pulau perbatasan.
’’Mestinya pemerintah jeli dan memperhatikan nasib kita, guru-guru di perbatasan NKRI. Karena penerangan lampu (PLN) tak ada, terpaksa kita bakar kulit kelapa. Kita bakar daun-daun untuk usir nyamuk karena banyak virus malaria. Transportasi sangat sulit dan biaya tinggi. Untuk urusan ke ibu kota MBD (Tiakur, Pulau Moa) kita mesti keluarkan uang sampai Rp 3 juta. Dana BOS paling hanya Rp 5 juta. Jangankan itu, biaya pulang pergi dari tempat tugas ke pelabuhan kapal saja Rp 600.000. Ini kalau kondisi cuaca tenang, tapi kalau cuaca lagi tak bersahabat sulit bagi kami untuk melakukan kegiatan ke desa tetangga, apalagi mau laksanakan aktivitas di ibu kota kecamatan di Lirang (pulau yang berdekatan langsung dengan Timor Leste). Tapi, kami heran tak ada tunjangan guru-guru perbatasan yang mesti kami dapatkan. Ini perbuatan siapa, tolong diusut karena ini hak kami sebagai guru di pulau perbatasan,’’ cetusnya.
Letelay berharap Kepala Disdikpora Maluku Semuel Risambessy bisa meminta konfirmasi Kadis Pendidikan MBD Andreas Tetimilay atas dugaan manipulasi tunjangan guru-guru perbatasan di wilayah itu. Sayangnya, sampai berita ini naik online belum ada keterangan resmi Tetimilay maupun pejabat Bidang Pendidikan Menengah Disdikpora MBD Otis Loisokolay terkait masalah ini. Pertanyaan konfirmasi sudah diteruskan ke ponsel kedua pejabat ini, namun belum ada responsnya. (ev/mg-bm 015/bm 01)
Thomas Letelay, Kepala Sekolah Menengah Pertama (SMP) Satu Atap di Desa Karbubu, Kecamatan Wetar Barat, Kabupaten MBD, mengisahkan selama mengabdi di salah satu pulau perbatasan Republik Indonesia-Timor Leste itu pada 2010, pihaknya belum pernah sekali pun menerima hak maupun tunjangan guru perbatasan.
’’Saya dan saudara saya yang juga guru di Kisar (pulau Perbatasan lain di MBD) Steven Letelay pernah mengecek informasi ini ke Dinas Pendidikan Maluku, dan ada data-data sekolah yang menerima tunjangan itu, termasuk sekolah di Karbubu dan Kisar. Tapi, kami tidak tahu selama ini siapa yang ambil tunjangan-tunjangan itu,’’ beber mantan guru SMP Hang Tuah Lantamal IX di Ambon, Sabtu (2/11/2013).
Letelay juga membeberkan manipulasi data yang diduga dilakukan oknum pejabat Disdikpora MBD terkait tunjangan bagi guru-guru perbatasan yang lagi mengejar sertifikasi dengan mengikuti kuliah lanjut di Ambon, Maluku dan Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Pasalnya, ada guru SMP Negeri 2 Pulau-pulau Terselatan di Desa Romang, Izaack Lutaporu, yang tidak kuliah namun diberikan tunjangan tiap bulan sebagai mahasiswa. ’’Saudara Izaak bilang buat saya, katanya ada namanya, tapi dia tak ambil uang tersebut, karena itu bukan haknya,’’ ujarnya mengutip pengakuan Lutaporu.
Letelay mengakui mengabdi di pulau perbatasan sangat memprihatinkan dan butuh kesabaran. Selain sulitnya transportasi, dan minimnya sarana komunikasi, tingginya biaya hidup menjadi risiko yang harus ditanggung para pahlawan tanpa tanda jasa di pulau-pulau perbatasan.
’’Mestinya pemerintah jeli dan memperhatikan nasib kita, guru-guru di perbatasan NKRI. Karena penerangan lampu (PLN) tak ada, terpaksa kita bakar kulit kelapa. Kita bakar daun-daun untuk usir nyamuk karena banyak virus malaria. Transportasi sangat sulit dan biaya tinggi. Untuk urusan ke ibu kota MBD (Tiakur, Pulau Moa) kita mesti keluarkan uang sampai Rp 3 juta. Dana BOS paling hanya Rp 5 juta. Jangankan itu, biaya pulang pergi dari tempat tugas ke pelabuhan kapal saja Rp 600.000. Ini kalau kondisi cuaca tenang, tapi kalau cuaca lagi tak bersahabat sulit bagi kami untuk melakukan kegiatan ke desa tetangga, apalagi mau laksanakan aktivitas di ibu kota kecamatan di Lirang (pulau yang berdekatan langsung dengan Timor Leste). Tapi, kami heran tak ada tunjangan guru-guru perbatasan yang mesti kami dapatkan. Ini perbuatan siapa, tolong diusut karena ini hak kami sebagai guru di pulau perbatasan,’’ cetusnya.
Letelay berharap Kepala Disdikpora Maluku Semuel Risambessy bisa meminta konfirmasi Kadis Pendidikan MBD Andreas Tetimilay atas dugaan manipulasi tunjangan guru-guru perbatasan di wilayah itu. Sayangnya, sampai berita ini naik online belum ada keterangan resmi Tetimilay maupun pejabat Bidang Pendidikan Menengah Disdikpora MBD Otis Loisokolay terkait masalah ini. Pertanyaan konfirmasi sudah diteruskan ke ponsel kedua pejabat ini, namun belum ada responsnya. (ev/mg-bm 015/bm 01)