Universitas Pendidikan Bukan Solusi Pecahkan Rendahnya Kualitas Pendidikan Maluku | Berita Maluku Online | Berita Terkini Dari Maluku Berita Maluku Online
Loading...

Universitas Pendidikan Bukan Solusi Pecahkan Rendahnya Kualitas Pendidikan Maluku

Butuh Tunjangan Khusus Guru Perbatasan 

Ambon - Berita Maluku. Wacana yang dikembangkan segelintir dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Pattimura, bahwa untuk mengatasi rendahnya kualitas pendidikan Maluku perlu perubahan status FKIP menjadi universitas pendidikan direspons negatif pengamat pendidikan Maluku, Herman Siamiloy.

’’Bagi saya, upaya mengatasi rendahnya mutu pendidikan Maluku dengan merubah status FKIP menjadi universitas pendidikan itu bukan solusi tepat dan mendesak,’’ jelas mantan Kepala Bagian Tata Usaha Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah XII Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat itu, Jumat (1/11/2013).

Siamiloy menyebutkan pendirian sebuah universitas itu tak semudah membalikkan telapak tangan karena selain butuh proses panjang, juga relative birokratif dan menyerap anggaran besar untuk mewujudkannya. ’’Sebab, bangun sebuah program studi baru saja sangat rumit dan bertahun-tahun, apalagi mau bangun universitas definitive. Saya anggap itu pernyataan yang emosional dan frustrasi,’’ imbuhnya.

Dalam kaitannya dengan peningkatan mutu pendidikan, jelas Siamiloy, tak mesti dipecahkan dengan perubahan status FKIP menjadi universitas pendidikan. Yang mesti dilakukan secara mendesak adalah penciptaan inovasi-inovasi baru dari dosen-dosen FKIP Unpatti sehingga tercipta model pendidikan yang mampu menjawab kebutuhan pendidikan di provinsi berkarakteritik kepulauan seperti Maluku.

’’Percuma kan setiap tahun banyak dosen FKIP yang dikirim sekolah ke luar Maluku atau ke luar negeri ambil gelar master, doktor dan gelar pendidikan lain, tapi ketika pulang di Ambon susah menerapkannya, bahkan bingung mau mulai dari mana. Justru saya lihat banyak tenaga pengajar yang tak punya inovasi meski bergelar master dan doktor. Karena itu, muncul istilah guru besar hanya nama (GBHN). Nah, ini catatan-catatan kritis yang mesti kita evaluasi dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan di Maluku,’’ bebernya.

Faktor lain yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan Maluku dibanding daerah lain, sebut Siamiloy, disebabkan sikap Pemerintah Pusat yang kurang peka dan masih menerapkan diskriminasi antara daerah (provinsi) kontinental dengan provinsi kepulauan.

’’Saya bilang pempus tak peka, karena anggaran untuk daerah kontinental jauh lebih besar dan efisien dibanding alokasi anggaran bagi daerah-daerah kepulauan yang secara geografis sangat terkendala dengan akses transportasi, komunikasi dan rentang kendali wilayah. Karena itu, mesti guru-guru di wilayah kepulauan dan pulau-pulau perbatasan (dengan Negara lain) diberikan tunjangan khusus untuk merangsang mereka agar berdedikasi tinggi bagi bangsa dan Negara di bidang pendidikan,’’ usulnya.

Dia mencontohkan, di pulau-pulau perbatasan seperti di Wetar, Kisar, Leti, dan pulau lain di Kabupaten Maluku Barat Daya, ada satu sekolah dengan enam ruang kelas yang kegiatan belajar mengajarnya ditangangi satu guru mata pelajaran Ujian Akhir Sekolah (UAS) dan Ujian Akhir Nasional (UAN).

Ironisnya, meski dengan keterbatasan tenaga pengajar itu, sekolah-sekolah di wilayah perbatasan Maluku itu sukses meluluskan siswa-siswinya dengan kelulusan 100 persen saat UAS maupun Ujian Akhir Nasional (UAN). Ukurannya bukan pada kuantitas, tapi kualitas dari tenaga pendidikan yang ada.

’’Jadi untuk memacu dan memotivasi guru-guru terpencil dan guru-guru di pulau-pulau perbatasan ini, mesti ada tunjangan khusus untuk itu. Ini mesti menjadi tugas anggota DPD RI dan anggota DPR RI asal Maluku untuk mendesak pempus segera merespons aspirasi seperti ini. Jangan datang untuk menggelar sosialisasi perubahan UU Sisdiknas (20 tahun 2003) untuk pencitraan diri menjelang pemilihan legislative 2014,’’ cetusnya. (rony samloy)
Pendidikan 2986466779353205043
Beranda item

# Kota Ambon

Indeks

# ANEKA

Indeks