Pemerintah Tidak Hargai Symbol Adat, Rehatta: Segera Bongkar Trotoar
http://www.beritamalukuonline.com/2015/01/pemerintah-tidak-hargai-symbol-adat.html
Bernilai Filosofis, Ornamen Budaya Maluku Mesti Gencar Disosialisasikan
Ambon -Berita Maluku. Penempatan ikon–ikon budaya Maluku di sepanjang trotoar jalan Pattimura, depan balai kota Ambon, pelataran Gong Perdamaian Dunia dan pintu masuk lapangan Merdeka serta sejumlah lokasi lainnya juga mendapat tanggapan dari budayawan dan Latu Pati kota Ambon.
Pasalnya simbol-simbol adat yang diletakan di tanah itu telah menjadi wahana pijakan masyarakat umum, sehingga berpotensi menurunkan derajat masyarakat Maluku.
Terkait hal tersebut, Pemerhati budaya Maluku, Jerry Matitaputy yang ditemui di Amahusu, Selasa kemarin (27/1/2015) menghimbau, Pemerintah Kota Ambon agar lebih dulu berkonsultasi dengan pemerhati budaya, sebelum menempatkan ikon-ikon tersebut.
“Ini sesuatu yang saya anggap keliru, simbol budaya yang sakral dan maha tinggi, seperti matahari, ditaruh sebagai tempat injak-injak masyarakat,” cetus Matitaputty.
Diungkapkan oleh mantan kepala UPTD museum Siwalima ini, dari pengamatannya yang tergelar pada trotoar itu, selain lambang matahari juga ada lambang-lambang lainnya yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat Maluku. Ada lambang burung camar laut, ikan dan sebagainya.
Hal tersebut juga diamini oleh staf dinas Kebudayaaan dan Pariwisata Maluku, Buce Sipahelut. Menurutnya selain lambang matahari dan burung, ada juga lambang yang menggambarkan hasil kekayaan bumi Maluku seperti, cengkeh dan pala.
Pria yang menggeluti bidang sejarah purbakala ini, bahkan mengkritik ornament yang di taruh di pelataran Gong Perdamaian Dunia (GPD), yakni pada ornament itu harus ada bulatan tengah yang melambangkan matahari sehingga titik-titik di sekelilinnya itu adalah bintang-bintangnya.
“Jadi ornamen-ornamen ini memiliki pemaknaan dan fungsinya masing masing,“ cetus Sipahelut.
Pria yang sebelumnya berkarier di Museum Siwalima Ambon ini menambahkan, ornamen–ornamen yang diletakan pada sepanjang trotoar itu mengadung nilai filosolfis yang sangat tinggi, misalnya matahari melambangkan Tuhan yang memberikan kehidupan (Upulanite) yakni saat matahari memberikan cahayanya dipagi hari/fajar pagi, orang mulai melakuakan aktifitas.
“Matahari ini melambangkan Tuhan Yang Maha Tinggi. Tuhan Yang Maha Kuasa. Jadi tidak boleh ditaruh di tanah tetapi harus ditaruh pada tempat yang paling atas. Itu kalau kita mau mengerti adat,“ ungkapnya.
Terkait sosialisasi ikon–ikon adat ini, kedua pemerhati budaya itu setuju jika pemerintah lebih gencar mempromosikannya, tetapi pada wahana yang tepat misalnya pada dinding atau pun busana daerah yang di kenakan, bahkan mereka menyarankan supaya ikon-ikon adat itu dapat terpajang di dinding kantor-kantor pemerintahan di daerah Maluku, supaya dapat menggambarkan ciri khas dari provinsi seribu pulau ini.
Bahkan Sipahelut menghimbau, dinas Pekerjaan Umum provinsi Maluku untuk lebih mensosialisasikan bangunan yang bercirikan daerah Maluku yang juga disokong oleh ornament ornament daerah. Misalnya di situ ada lambang matahari, cengkeh dan pala.
”Sekarang ini kan sudah ada tiang-tiang rumah yang dibangun dengan model cengkih. Itu yang harus dikembangkan,“ ujarnya.
Terkait nilai budaya yang terkandung di dalam ornamen adat itu, Matitaputty mengungkapkan bahwa symbol adatis pada ornamen-ornamen itu tidak hanya sebagai sesuatu objek yang menarik saja, tetapi lebih dari itu.
Ia memiliki nilai edukasi yang merupakan warisan dari masa lalu. ”Nilai–nilai luhur edukasi yang terkadung dalam warisan sejarah masa lampau itu terus hadir dalam dinamika perubahan di masa kini. Untuk itu sudah selayaknya generasi muda bisa mengambilnya sebagai pedoman hidup dalam meniti masa depan yang lebih baik,“ ujar Matitaputty berfilosofis.
Sementara Ketua Latu Patti kota Ambon, Ruben Rehatta y yang ditemui sebelumnya, mengkritik dengan keras Pemerintah kota Ambon, terkait penempatan lambang-lambang tersebut di trotoar.
“Lambang-lambang itu adalah lambang raja. Mengapa harus jadi pijakan kaki masyarakat?” protes Rehatta.
Bahkan, Rehatta dengan tegas meminta pemerintah untuk segera membongkarnya, pasalnya jika hal itu berlansung terus-menerus maka pemerintah sudah tidaklagi menghargai lambang adat.
Menurutnya, ia pernah memprotes ornament adat yang ditaruh di pintu masuk Lapangan Merdeka Ambon saat HUT kota Ambon September tahun lalu.
“Kalau pemerintah tidak mau membongkarnya, maka kota Ambon akan terkena musibah kembali, sebab kalau siapa yang tidak menghargai adat akan kena musibah,“ kecam Rehatta. (BM02)
Ambon -Berita Maluku. Penempatan ikon–ikon budaya Maluku di sepanjang trotoar jalan Pattimura, depan balai kota Ambon, pelataran Gong Perdamaian Dunia dan pintu masuk lapangan Merdeka serta sejumlah lokasi lainnya juga mendapat tanggapan dari budayawan dan Latu Pati kota Ambon.
Pasalnya simbol-simbol adat yang diletakan di tanah itu telah menjadi wahana pijakan masyarakat umum, sehingga berpotensi menurunkan derajat masyarakat Maluku.
Terkait hal tersebut, Pemerhati budaya Maluku, Jerry Matitaputy yang ditemui di Amahusu, Selasa kemarin (27/1/2015) menghimbau, Pemerintah Kota Ambon agar lebih dulu berkonsultasi dengan pemerhati budaya, sebelum menempatkan ikon-ikon tersebut.
“Ini sesuatu yang saya anggap keliru, simbol budaya yang sakral dan maha tinggi, seperti matahari, ditaruh sebagai tempat injak-injak masyarakat,” cetus Matitaputty.
Diungkapkan oleh mantan kepala UPTD museum Siwalima ini, dari pengamatannya yang tergelar pada trotoar itu, selain lambang matahari juga ada lambang-lambang lainnya yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat Maluku. Ada lambang burung camar laut, ikan dan sebagainya.
Hal tersebut juga diamini oleh staf dinas Kebudayaaan dan Pariwisata Maluku, Buce Sipahelut. Menurutnya selain lambang matahari dan burung, ada juga lambang yang menggambarkan hasil kekayaan bumi Maluku seperti, cengkeh dan pala.
Pria yang menggeluti bidang sejarah purbakala ini, bahkan mengkritik ornament yang di taruh di pelataran Gong Perdamaian Dunia (GPD), yakni pada ornament itu harus ada bulatan tengah yang melambangkan matahari sehingga titik-titik di sekelilinnya itu adalah bintang-bintangnya.
“Jadi ornamen-ornamen ini memiliki pemaknaan dan fungsinya masing masing,“ cetus Sipahelut.
Pria yang sebelumnya berkarier di Museum Siwalima Ambon ini menambahkan, ornamen–ornamen yang diletakan pada sepanjang trotoar itu mengadung nilai filosolfis yang sangat tinggi, misalnya matahari melambangkan Tuhan yang memberikan kehidupan (Upulanite) yakni saat matahari memberikan cahayanya dipagi hari/fajar pagi, orang mulai melakuakan aktifitas.
“Matahari ini melambangkan Tuhan Yang Maha Tinggi. Tuhan Yang Maha Kuasa. Jadi tidak boleh ditaruh di tanah tetapi harus ditaruh pada tempat yang paling atas. Itu kalau kita mau mengerti adat,“ ungkapnya.
Terkait sosialisasi ikon–ikon adat ini, kedua pemerhati budaya itu setuju jika pemerintah lebih gencar mempromosikannya, tetapi pada wahana yang tepat misalnya pada dinding atau pun busana daerah yang di kenakan, bahkan mereka menyarankan supaya ikon-ikon adat itu dapat terpajang di dinding kantor-kantor pemerintahan di daerah Maluku, supaya dapat menggambarkan ciri khas dari provinsi seribu pulau ini.
Bahkan Sipahelut menghimbau, dinas Pekerjaan Umum provinsi Maluku untuk lebih mensosialisasikan bangunan yang bercirikan daerah Maluku yang juga disokong oleh ornament ornament daerah. Misalnya di situ ada lambang matahari, cengkeh dan pala.
”Sekarang ini kan sudah ada tiang-tiang rumah yang dibangun dengan model cengkih. Itu yang harus dikembangkan,“ ujarnya.
Terkait nilai budaya yang terkandung di dalam ornamen adat itu, Matitaputty mengungkapkan bahwa symbol adatis pada ornamen-ornamen itu tidak hanya sebagai sesuatu objek yang menarik saja, tetapi lebih dari itu.
Ia memiliki nilai edukasi yang merupakan warisan dari masa lalu. ”Nilai–nilai luhur edukasi yang terkadung dalam warisan sejarah masa lampau itu terus hadir dalam dinamika perubahan di masa kini. Untuk itu sudah selayaknya generasi muda bisa mengambilnya sebagai pedoman hidup dalam meniti masa depan yang lebih baik,“ ujar Matitaputty berfilosofis.
Sementara Ketua Latu Patti kota Ambon, Ruben Rehatta y yang ditemui sebelumnya, mengkritik dengan keras Pemerintah kota Ambon, terkait penempatan lambang-lambang tersebut di trotoar.
“Lambang-lambang itu adalah lambang raja. Mengapa harus jadi pijakan kaki masyarakat?” protes Rehatta.
Bahkan, Rehatta dengan tegas meminta pemerintah untuk segera membongkarnya, pasalnya jika hal itu berlansung terus-menerus maka pemerintah sudah tidaklagi menghargai lambang adat.
Menurutnya, ia pernah memprotes ornament adat yang ditaruh di pintu masuk Lapangan Merdeka Ambon saat HUT kota Ambon September tahun lalu.
“Kalau pemerintah tidak mau membongkarnya, maka kota Ambon akan terkena musibah kembali, sebab kalau siapa yang tidak menghargai adat akan kena musibah,“ kecam Rehatta. (BM02)