Proyek BI-Fast Mandek, Tapi Uang Mengalir: Dugaan Pembayaran Fiktif di Bank Maluku-Malut, Desakan Penegak Hukum Sidik
AMBON - BERITA MALUKU. Di tengah upaya digitalisasi perbankan, aroma penyimpangan justru menyeruak dari tubuh Bank Maluku-Malut (BMM). Sistem BI-Fast, yang digadang-gadang akan mempercepat layanan transaksi antarbank dengan biaya murah Rp2.500 per transaksi, kini berubah menjadi sorotan tajam. Pasalnya, meski sistem itu macet total selama berbulan-bulan, pembayaran kepada pihak penyedia tetap lancar mengalir.
Pertanyaan pun mencuat: jika layanan tak berjalan, dana puluhan juta rupiah per bulan itu sebenarnya mengalir ke siapa?
Informasi yang diperoleh dari sumber internal bank menyebut, selama lebih dari lima bulan, sistem BI-Fast milik Bank Maluku-Malut mengalami gangguan serius. Transaksi nasabah gagal, koneksi sistem terputus, dan ribuan keluhan masuk setiap minggu. Namun, di balik layar, pembayaran kepada vendor penyedia tetap dilakukan rutin setiap bulan.
“Setiap bulan, tetap dibayar Rp35.100.000 ke PT Praweda Ciptakarsa Informatika. Padahal sistem error sejak lama. Kalau ini bukan fiktif, lalu apa namanya?” ujar sumber yang enggan disebutkan namanya, Jumat (17/10).
Ironisnya, lanjut sumber itu, pembayaran kepada vendor tetap berjalan tanpa dasar evaluasi kinerja, tanpa laporan keberhasilan perbaikan sistem, bahkan berhembus kabar bahwa Direktur Utama bersama Divisi Teknologi Informasi (TI) kini tengah mencari vendor pengganti untuk menggantikan PT Praweda.
“Hal ini justru semakin parah, karena seharusnya PT Praweda dikenakan penalti atau membayar ganti rugi kepada Bank Maluku-Malut. Namun yang terjadi, perusahaan itu dibiarkan begitu saja, sementara pembayaran untuk sistem BI RTGS yang bermasalah masih terus berjalan hingga bulan Oktober ini, padahal sistem tersebut sudah tidak berfungsi sejak Mei lalu,” ungkapnya.
Ia menambahkan, kondisi ini berpotensi menimbulkan biaya ganda bagi bank karena akan menggunakan vendor baru.
“Artinya, proyek ini bisa memakan biaya dua kali lipat dan kemungkinan baru bisa berfungsi kembali tahun depan. Sungguh miris, kinerja Direktur Utama dan Divisi TI harus segera dievaluasi oleh para pemegang saham dan diganti,” tegasnya.
“Vendor tidak bisa pulihkan sistem, tapi tetap digaji. Itu keputusan langsung dari Dirut dan Kepala Divisi TI. Ini jelas melanggar prinsip kehati-hatian dan tata kelola bank,” tambahnya.
Sumber internal lain mengungkapkan bahwa proyek pengadaan BI-Fast sejak awal sudah diarahkan ke satu perusahaan tertentu, yakni PT Praweda Ciptakarsa Informatika. Proses pemilihan vendor disebut sarat intervensi dari pimpinan puncak bank.
“Dari awal Dirut sudah tunjuk nama. Proses pengadaan hanya formalitas. Eksekusinya ditangani langsung oleh Divisi IT. Semua serba diarahkan,” kata sumber itu.
Padahal, menurut catatan sejumlah pihak, PT Praweda bukanlah pemain besar dalam sistem integrasi perbankan. Pengalaman perusahaan itu hanya terbatas pada proyek-proyek skala kecil di beberapa Bank Pembangunan Daerah (BPD).
“Dengan kapasitas teknis terbatas, risiko keamanan dan kinerja sistem pasti tinggi. Tapi anehnya, justru vendor ini yang dipilih,” tegasnya.
Sistem BI-Fast Bank Maluku-Malut diketahui mengalami gangguan sejak awal Mei 2025. Akibatnya, ribuan nasabah tidak bisa melakukan transaksi cepat dengan biaya murah Rp2.500 per transaksi, dan kembali menggunakan sistem Real Time Online (RTO) dengan biaya Rp6.500.
“Yang rugi jelas nasabah. Harusnya BI-Fast bikin transaksi efisien, tapi malah jadi mahal. Aneh, yang salah vendor, tapi yang kena beban masyarakat,” kata salah satu nasabah di kawasan Mardika, Ambon.
Bahkan beberapa pelaku UMKM mengaku kehilangan kepercayaan pada layanan bank daerah tersebut karena seringnya transaksi gagal.
Mekanisme Pembayaran Diduga Bermasalah
Secara prinsip, dalam kontrak kerja sama pengadaan sistem perbankan, pembayaran hanya dapat dilakukan setelah vendor menyelesaikan pekerjaan dan sistem berfungsi normal. Namun, dalam kasus BI-Fast Bank Maluku-Malut, pembayaran tetap dilakukan meski sistem gagal beroperasi.
“Ini bisa dikategorikan sebagai pembayaran fiktif karena tidak ada manfaat yang diterima bank. Kalau tidak ada audit independen, hal seperti ini bisa terus berulang,” jelas sumber.
Perjalanan Dinas dan Manajemen Longgar
Sementara itu, kondisi manajemen di kantor pusat Bank Maluku-Malut dikabarkan semakin tidak terkendali. Direktur Utama Syahrisal Imbar disebut lebih sering berada di luar daerah daripada di kantor. Dalam satu bulan, ia tercatat melakukan perjalanan dinas lebih dari 20 hari tanpa kejelasan hasil kerja.
“Perjalanan dinas itu sudah di luar batas wajar. Hampir tidak pernah di kantor. Proyek besar seperti BI-Fast akhirnya tidak diawasi dengan baik,” ungkap sumber.
Sayangnya, jajaran komisaris di bawah pimpinan Nadjib Bachmid juga dinilai tidak menjalankan fungsi kontrol secara optimal.
“Fungsi pengawasan lumpuh total. Tidak ada evaluasi. Tidak ada teguran. Padahal ini menyangkut uang publik dan kepercayaan masyarakat,” ujarnya.
Kini, nama besar Bank Maluku-Malut berada di ujung tanduk. Gangguan sistem, lemahnya tata kelola, serta dugaan penyimpangan pembayaran proyek teknologi membuat citra lembaga itu kian merosot di mata masyarakat.
“Kalau ini terus dibiarkan, nasabah bisa berbondong-bondong pindah ke bank lain. Padahal BI-Fast seharusnya menjadi tonggak kemajuan bank daerah,” pungkas sumber.
Publik Minta OJK dan Kejaksaan Bertindak
Melihat situasi ini, sejumlah kalangan mendesak Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI), dan aparat penegak hukum untuk segera turun tangan melakukan audit investigatif.
“Kita bicara lembaga keuangan milik daerah. Kalau ada penyimpangan, berarti uang daerah dan kepercayaan publik yang dipertaruhkan,” desak publik.
Ia menilai, audit harus dilakukan tidak hanya pada proyek BI-Fast, tetapi juga pada kebijakan perjalanan dinas, penggunaan dana operasional, serta kontrak kerja sama lainnya di lingkungan Bank Maluku-Malut.
“Kasus ini bisa menjadi pintu masuk untuk mengungkap dugaan korupsi sistematis di tubuh bank daerah. Jangan tunggu sampai publik benar-benar kehilangan kepercayaan,” tambahnya.