Aroma Penyimpangan di BI-Fast, Dirut Bank Maluku-Malut Diduga Jadi Aktor Utama
AMBON - BERITA MALUKU. Gejolak internal di tubuh Bank Maluku-Malut tampaknya belum juga mereda. Setelah berbagai persoalan muncul pasca Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Maret 2025, kini terungkap dugaan adanya arah kebijakan bermasalah dalam proses pengadaan aplikasi BI-Fast yang melibatkan jajaran manajemen puncak dan Divisi Teknologi Informasi (TI).
Sumber internal bank mengungkapkan bahwa pengadaan sistem BI-Fast yang seharusnya memperkuat layanan transaksi cepat, justru dijalankan dengan indikasi keberpihakan pada salah satu perusahaan penyedia, PT Praweda Ciptakarsa Informatika.
“Diduga Dirut yang arahkan proses pengadaan untuk memenangkan PT Praweda. Eksekusinya dilakukan oleh Kepala Divisi IT, Sokarno Padja, dengan maksud tertentu,” ungkap sumber yang tak mau namanya dipublikasikan, Rabu (15/10).
Menurut sumber itu, pengalaman perusahaan penyedia aplikasi tersebut sangat terbatas, hanya menangani beberapa Bank Pembangunan Daerah (BPD) dengan nilai proyek yang relatif kecil. Celakanya, pengalaman minim, dan sudah tentu berdampak pada security sistem yang dingunakan.
“Padahal sistem ini krusial, berkaitan langsung dengan data dan transaksi keuangan masyarakat. Tapi yang dipilih malah vendor dengan pengalaman minim,” lanjutnya.
Masalah tak berhenti di situ. Kontrak kerja sama dengan PT Praweda dinilai janggal dan merugikan pihak bank. Seharusnya, ketika sistem BI-Fast tidak berfungsi sebagaimana mestinya, pembayaran kepada pihak pengembang otomatis dihentikan sebagai bentuk tanggung jawab dan konsekuensi wanprestasi. Namun yang terjadi justru sebaliknya, pembayaran tetap berjalan rutin setiap bulan.
“Ini jelas aneh. Walaupun sistem tidak beroperasi normal, manajemen tetap membayar biaya sewa aplikasi sebesar Rp38 juta per bulan. Padahal nasabah tidak bisa menikmati layanan BI-Fast dengan biaya murah Rp2.500 per transaksi. Akibatnya, transaksi kembali menggunakan Real Time Online (RTO) dengan tarif Rp6.500. Beban malah dialihkan ke nasabah,” tegas sumber itu.
Kondisi ini memunculkan dugaan adanya kesengajaan untuk meraup keuntungan tertentu di balik kontrak kerja sama tersebut. Beberapa pihak menilai, lemahnya pengawasan internal dan kontrol komisaris membuat kebijakan manajemen semakin tidak terkendali.
“Kalau ini bukan unsur kesengajaan, sulit dijelaskan secara logis. Sistem rusak, tapi vendor tetap dibayar, bahkan tanpa evaluasi kinerja. Ini sudah di luar kelaziman praktik perbankan,” ujar sumber.
Seperti diberitakan sebelumnya, kondisi manajemen Bank Maluku-Malut dikabarkan semakin tidak stabil sejak Maret 2025. Direktur Utama, Syahrisal Imbar, disebut jarang berada di kantor dan lebih sering melakukan perjalanan dinas tanpa kejelasan output kerja. Dalam sebulan, ia bahkan tercatat lebih dari 20 hari berada di luar daerah.
Akibat pola kerja tersebut, banyak urusan strategis di kantor pusat terbengkalai, termasuk pengawasan atas proyek-proyek vital seperti sistem BI-Fast. Ironisnya, Komisaris Utama Nadjib Bachmid disebut tidak pernah mengambil langkah tegas untuk menertibkan kondisi itu.
“Fungsi kontrol benar-benar lumpuh. Tidak ada teguran, tidak ada evaluasi. Padahal ini menyangkut kepercayaan publik,” ujar sumber lain.
Gangguan layanan BI-Fast yang terjadi selama lima bulan terakhir pun semakin memperburuk citra Bank Maluku-Malut di mata nasabah. Banyak pengguna mengeluhkan transaksi yang gagal, biaya yang mahal, dan layanan mobile banking yang tidak stabil.
“Nasabah kehilangan kepercayaan. Kalau ini terus dibiarkan, potensi migrasi ke bank lain sangat besar,” tambah sumber tersebut.
Dugaan pelanggaran dalam pengadaan sistem BI-Fast kini menjadi perhatian kalangan perbankan daerah. Sejumlah pihak mendesak agar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan aparat penegak hukum turun tangan melakukan audit menyeluruh atas pengelolaan proyek TI dan kebijakan manajemen Bank Maluku-Malut yang dinilai sarat kejanggalan.