Hattu: Konflik Malteng dan SBB Adalah Konflik Pura-Pura
http://www.beritamalukuonline.com/2015/04/hattu-konflik-malteng-dan-sbb-adalah.html
Ambon - Berita Maluku. Masalah perbatasan di dua kabupaten bertetangga di pulau Seram, Provinsi Maluku antara Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) dan Kabupaten Maluku Tengah (Tengah) dinilai sebagai konflik pura-pura.
Hal itu dikatakan Anggota Komisi A DPRD Maluku, Herman Hattu, SH, Kamis (30/4/2015) menyikapi ketidakseriusan pemerintah daerah untuk menyelesaikan masalah kedua perbatasan, dimana masalah yang berlangsung lebih satu dasawarsa itu bukan saja dibawa oleh kedua kepala daerah ke pengadilan negeri Jakarta, namun dibawa juga hingga ke Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) maupun ombudsman.
"Mana ada seorang kepala daerah harus mengajukan sengketa tapal batas di komnas HAM maupun Ombudsman, apa urusan lembaga itu dengan batas wilayah apalagi kewenangannya tidak bisa melahirkan sebuah keputusan yang nilainya sama dengan keputusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Jadi pertanyaannya apakah komnas HAM maupun ombudsman adalah lembaga peradilan yang punya kewenangan untuk mengadili sengketa batas wilayah. Ataukah ini sengketa pura-pura," ungkap Hattu.
Hattu menjelaskan, kalau dicermati lebih jauh sebetulnya ada masalah misterius yang terjadi dalam sengketa dua kabupaten di pulau ibu itu, dimana antara desa Talla dan desa Malla dengan jarak kurang lebih 25 km, dibawahnya terdapat potensi tambang, sementara di atas wilayah itu ada ribuan hektar kayu.
Ia pun lantas mempertanyakan soal konflik yang sering timbul-tenggelam di wilayah itu untuk kepentingan siapa. "Apakah perebutan wilayah itu untuk kebutuhan rakyat kah atau untuk kepentingan mereka yang sementara berkuasa sekarang," tanyanya.
Menurutnya persoalan itu makin misterius saja. "Pura-pura berkelahi dengan menggunakan formula peradilan yang sebetulnya rakyat tidak inginkan itu," ungkapnya.
Hattu yang juga kader Partai Nasdem pun minta agar Pemerintah provinsi Maluku segera melakukan audit terhadap APBD yang kurang lebih 10 sampai 12 tahun digunakan di dua daerah itu.
"APBD non budjeter kurang lebih Rp100 miliar yang dipergunakan oleh kedua penguasa di kabupaten ini yang saling menggugat. Menurut kami itu adalah pura-pura, duit itu dimana? karena itu mesti diaudit oleh Provinsi untuk meninjau ulang APBD di dua kabupaten itu. Bila perlu harus ada campur tangan dari BPK atau BPKP untuk mengauditnya.
Dijelaskan, bahwa terhadap sengketa batas wilayah antara SBB dan Malteng rujukannya mesti pada undang-undang nomor 40, akan tetapi dalam undang-undang nomor 40 itu menyebutkan batas wilayah itu ada di Talla, rancunya dalam lampirannya batas wilayahnya ada di Malla,
"Terhadap uu itu ada yang namanya putusan Konstitusi, pertanyaannya adalah apakah perintah Mahkamah Kosntitusi itu sudah dijalankan oleh pemerintah pusat atau belum," tanya Hattu.
Dalam konteks itu menurutnya, maka yang muncul adalah keputusan Mendagri tentang batas wilayah, namun dari sisi urgensi, ternyata keputusan Mendagri tentang batas wilayah SBB dan Malteng itu tidak sesuai dengan perintah putusan Mahkamah Konstitusi. (bm 10)
Hal itu dikatakan Anggota Komisi A DPRD Maluku, Herman Hattu, SH, Kamis (30/4/2015) menyikapi ketidakseriusan pemerintah daerah untuk menyelesaikan masalah kedua perbatasan, dimana masalah yang berlangsung lebih satu dasawarsa itu bukan saja dibawa oleh kedua kepala daerah ke pengadilan negeri Jakarta, namun dibawa juga hingga ke Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) maupun ombudsman.
"Mana ada seorang kepala daerah harus mengajukan sengketa tapal batas di komnas HAM maupun Ombudsman, apa urusan lembaga itu dengan batas wilayah apalagi kewenangannya tidak bisa melahirkan sebuah keputusan yang nilainya sama dengan keputusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Jadi pertanyaannya apakah komnas HAM maupun ombudsman adalah lembaga peradilan yang punya kewenangan untuk mengadili sengketa batas wilayah. Ataukah ini sengketa pura-pura," ungkap Hattu.
Hattu menjelaskan, kalau dicermati lebih jauh sebetulnya ada masalah misterius yang terjadi dalam sengketa dua kabupaten di pulau ibu itu, dimana antara desa Talla dan desa Malla dengan jarak kurang lebih 25 km, dibawahnya terdapat potensi tambang, sementara di atas wilayah itu ada ribuan hektar kayu.
Ia pun lantas mempertanyakan soal konflik yang sering timbul-tenggelam di wilayah itu untuk kepentingan siapa. "Apakah perebutan wilayah itu untuk kebutuhan rakyat kah atau untuk kepentingan mereka yang sementara berkuasa sekarang," tanyanya.
Menurutnya persoalan itu makin misterius saja. "Pura-pura berkelahi dengan menggunakan formula peradilan yang sebetulnya rakyat tidak inginkan itu," ungkapnya.
Hattu yang juga kader Partai Nasdem pun minta agar Pemerintah provinsi Maluku segera melakukan audit terhadap APBD yang kurang lebih 10 sampai 12 tahun digunakan di dua daerah itu.
"APBD non budjeter kurang lebih Rp100 miliar yang dipergunakan oleh kedua penguasa di kabupaten ini yang saling menggugat. Menurut kami itu adalah pura-pura, duit itu dimana? karena itu mesti diaudit oleh Provinsi untuk meninjau ulang APBD di dua kabupaten itu. Bila perlu harus ada campur tangan dari BPK atau BPKP untuk mengauditnya.
Dijelaskan, bahwa terhadap sengketa batas wilayah antara SBB dan Malteng rujukannya mesti pada undang-undang nomor 40, akan tetapi dalam undang-undang nomor 40 itu menyebutkan batas wilayah itu ada di Talla, rancunya dalam lampirannya batas wilayahnya ada di Malla,
"Terhadap uu itu ada yang namanya putusan Konstitusi, pertanyaannya adalah apakah perintah Mahkamah Kosntitusi itu sudah dijalankan oleh pemerintah pusat atau belum," tanya Hattu.
Dalam konteks itu menurutnya, maka yang muncul adalah keputusan Mendagri tentang batas wilayah, namun dari sisi urgensi, ternyata keputusan Mendagri tentang batas wilayah SBB dan Malteng itu tidak sesuai dengan perintah putusan Mahkamah Konstitusi. (bm 10)