Semper Fidelis, Assagaff - Sahuburua!
http://www.beritamalukuonline.com/2014/03/semper-fidelis-assagaff-sahuburua.html
Totalitas ’Jenderal Birokrasi’ dan Politisi Tiga Zaman Maluku
’’Jika kita kehilangan harta, kita pasti kehilangan segalanya. Jika kita kehilangan pacar dan orang-orang yang dicintai, kita juga akan kehilangan segalanya. Begitupun jika kita kehilangan peluang, kita tentu kehilangan segalanya. Tapi, jika kita kehilangan keberanian, maka kita akan kehilangan segala-galanya’’.=anonym=
PELANTIKKAN Said Asagaff dan Zeth ’Ety’ Sahuburua sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku periode 2014/18 oleh Menteri Dalam Negeri Gamawan Fausy di gedung DPRD Maluku, Senin (10/3), merupakan momentum strategis sekaligus entry poin bagi kedua sosok pasangan birokrat dan politisi ini untuk mengangkat harkat dan martabat Maluku yang selama ini terpuruk dalam berbagai dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara, khusus di level nasional.
Keran aspirasi lokal yang tersumbat berbagai arus kepentingan yang terus bersliweran, harus segera dibuka kembali. Dalam perspektif tersebut, banyak ’Pekerjaan Rumah’ (PR) yang masih belum tuntas dikerjakan pemimpin terdahulu, Karel Albert Ralahalu, selama periode 2003/08 dan 2008/13, yang mesti dituntaskan Assagaff dan tandemnya, Sahuburua, lima tahun ke depan. Visi dan misi politik selama masa kampanye, bukan sekadar retorika birokratif maupun jargon kosong. Semuanya harus diimplementasikan secara gradual (berkesinambungan sesuai Rencana Strategis pembangunan daerah). Namun, optimisme menjulang harus tetap dikobarkan kedua pemimpin ini.
Sebagai pendamping Ralahalu selama lima tahun sebelumnya, Assagaff dengan rekam jejak pemerintahan yang spektakuler dan mengesankan pasti tahu apa yang mesti dilakukannya. Ia tahu bagaimana berkarya di tengah derasnya gelombang. Popularitas bukan ukuran. Loyalitas dan totalitas pengabdian merupakan harga mati. Nyawa bisa saja jadi ’taruhannya’. Itu kalau tulus mencintai rakyat Maluku.
Legitimasi Maluku sebagai Provinsi Kepulauan (Archipelagic Province) dan Lumbung Ikan Nasional (LIN) masih berbelit-belit prosesnya karena ketidakrelaan pemerintah pusat memberikan otonomi khusus kelautan kepada daerah berkarakteristik kepulauan seperti Maluku. Nomenklatur Indonesia sebagai Negara Kepulauan (Archipelagic State) menyusul pengesahan (ratifikasi) Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) di Montego Bay, Jamaika, 10 Desember 1982 (baru diberlakukan pada 1994), tak ’dibreak down’ sampai ke level terendah terkait pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam pesisir.
Sikap ambigu Pempus jelas terlihat karena ketakutan elite-elite politik nasional jika suatu ketika pengerukan sumber daya kelautan dan perikanan di perairan Maluku dibatasi oleh kewenangan daerah penghasil yang mesti lebih sejahtera rakyatnya. Hal ini sebagai penolakan (antitesa) terhadap teori kutukan sumber daya alam yang pertama kali digunakan Richard Auty pada 1993 silam. Kutukan sumber daya atau paradoks keberlimpahan, mengacu pada paradoks bahwa negara dan daerah yang kaya akan sumber daya alam, terutama sumber daya non-terbarukan seperti mineral dan bahan bakar, cenderung mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat dan wujud pembangunan yang lebih buruk ketimbang negara-negara yang sumber daya alamnya langka.
Selebihnya, pemberian otonomi khusus (Otsus) kelautan akan mengekang kekayaan para pejabat daerah dan pusat dari praktik dokumen dan perizinan illegal (illegal lisence) maupun praktik illegal fishing di laut Maluku. Dalam kasus inpor daging sapi, budayawan Arswendo Atmowiloto menukas, kasusnya tak akan habis karena banyak pejabat Negara hidup dari fee pajak infor daging sapi. Kasus illegal fishing maupun illegal lisence dari laut Maluku yang ditaksir merugikan Negara per tahunnya sekira puluhan triliuan rupiah pun nyaris serupa, setali tiga uang.
Matang di pemerintahan, sejak meniti karier sebagai pegawai negeri biasa, pejabat eselon IV dan III, Sekretaris Daerah Maluku (2003/08), Wakil Gubernur Maluku (2008/13), dan kini orang nomor satu Maluku, Assagaff pasti tahu apa yang hendak diperbuat untuk mengangkat lagi keterpurukan Maluku, terutama menekan angka kemiskinan hingga stadium terendah, sehingga Maluku tak terus menerus dikategorikan provinsi termiskin di Tanah Air. Sebetulnya, orang Maluku tak miskin, kekayaan alamnya melimpah dari darat sampai ke dasar laut.
Orang Maluku ’dimiskinkan’ dan menjadi korban tumpang tindihnya regulasi di bidang perikanan, kelautan, perkebunan, kehutanan, mineral, dan pertambangan. Kata orang Ambon ’’otonomisasi tapi masih pakai ’Sasi’. Dalam perspektif kearifan lokal Maluku Tengah, Sasi merupakan larangan untuk mengambil hasil sebelum musim panen tiba.
Bayangkan saja, jika kasus illegal fishing dan illegal lisence bisa diminimalisasi sekecil mungkin dan anggarannya bisa ’dishare’ 25 persen ke Maluku, mungkin Maluku tak terpuruk sampai 60 tahun terakhir ini. Kekayaan laut Maluku dicaplok dan dicuri untuk membangun jalan tol di daerah lain, bahkan ada dugaan kuat, hasil pencurian kekayaan laut Maluku juga digunakan untuk pembangunan jalan tol super modern di Cina, Jepang, Taiwan, Korea Selatan, dan Negara Asia Timur lainnya. Jangan heran, Laut Banda pernah ’digadai’ selama 50 tahun ke Jepang. Karena itu, Jepang lebih tahu di mana lokasi Gas Alam Cair (Liquid Natural Gas/LNG) di perairan Maluku ketimbang Negara lain.
Jika saja hak 10 persen Participating Interest (PI) pengelolaan gas abadi di Blok Masela, Kecamatan Babar Timur, Kabupaten Maluku Barat Daya, direstui pempus, mungkin rakyat Maluku akan sejahtera selama lebih kurang 100 tahun ke depan. Setelah Amerika Serikat (AS) dan sekutunya Jepang ’bermain’ dalam pengelolaan LNG Masela, elite politik lokal dan nasional pun ikut memancing di air keruh dalam pengeksploitasian gas abadi tersebut. Ada tiga partai besar yang saling berebutan fee dan saham di balik pengelolaan LNG Masela. Publik pasti tahu kok!
Di saat orang Maluku harap cemas soal PI 10 persen Blok Masela, pihak asing dan perusahaan nasional justru mencuri sedikit untuk membangun infrastruktur jalan dan jembatan megah di pesisir tengah Indonesia. Didampingi Sahuburua, ’politisi tiga zaman’ yang memulai karier di dunia aktivis hingga jalur politik sejak akhir dekade 1960an, Assagaff diprediksi akan mampu menuntaskan ribuan ’PR’ yang masih menumpuk di depan meja kerja. Pendamping Assagaff bukan politisi sempalan. Semenjak duduk di Fakultas Hukum Universitas Pattimura Ambon, nama Sahuburua sudah membooming di seantero Maluku.
Ia kepincut dan masuk Partai Golongan Karya (Golkar) pada 1971. Kecerdasannya mengantarkan pemuda Nusalaut ini berpidato saat perhelatan Kongres Pemuda Dunia di Markas PBB, New York, Amerika Serikat, tahun 1982. Saat itu, bersama Ketua Umum DPP KNPI, Theo L Sambuaga, Sahuburua ikut berpidato mewakili delegasi pemuda Indonesia. Di tahun yang sama, Sahuburua menjadi anggota DPRD Maluku periode 1982/87. Setelah jadi anggota, Sahuburua sukses dua periode sebagai Wakil Ketua DPRD Maluku (1987/92 dan 1992/97). Karier politiknya terus melesat dan menjadi Ketua DPRD Maluku periode 1997-2004.
Ia menjadi satu-satunya politisi Golkar yang dua kali menjabat Ketua DPD Partai Golkar Maluku selama kurun 2009-2015. Selain diharapkan memperjuangkan aspirasi Maluku di Jakarta, Assagaff-Sahuburua pun diimbau untuk mengonsolidasikan dunia olahraga Maluku yang saat ini telah menargetkan sedikitnya 8-9 medali emas di Pekan Olahraga Nasional (PON) XIX Jawa Barat pada pertengahan 2016. Kedua sosok ini dinilai tepat membangun prestasi olahraga Maluku karena Assagaff merupakan ketua pengprov FORKI Maluku 2009/14, sementara Sahuburua pernah menjabat Ketua PBVSI Maluku periode 2004/08.
Tak kalah penting menghidupkan kekuatan seni musik dan budaya Maluku yang perlahan-lahan mulai tergerus keberanian daerah lain menggusur dominasi Maluku di dunia tarik suara maupun pentas-pentas budaya nasional.
Seluruh misi dan visi yang diemban Assagaff-Sahuburua tak semudah membalikkan telapak tangan untuk diimplementasikan. Harus step by step. Keberanian bersikap dan bertindak dari kedua sosok kenyang pengalaman di lingkup birokrasi dan ring politik ini menjadi keniscayaan. Apalagi, Sahuburua merupakan sosok pengagum moto ‘’jika kita kehilangan keberanian, maka kita kehilangan segala-galanya’’.
Yang penting, jangan menggadaikan hak kesulungan, menjual identitas lokal melalui pemberian (penganugerahan) gelar-gelar adat kepada elite nasional, hanya untuk mengemis anggaran pempus.
Tanpa keberanian kedua pemimpin ini, Maluku akan terus terpuruk dan tak pernah dihargai dalam konstelasi maupun konfigurasi politik nasional di abad ke-21.
sesnya personel Marinir AS maupun pasukan Penjaga Pantainya dalam seluruh medan tugas bukan karena kekuatan personel-personel tersebut, tapi konsistensi mereka memegang semboyan: Selalu Setia (’’Semper Fidelis’’ atau ’’Semper Fi’’)’ dan Selalu Siap (’’Semper Paratus’’) menjalankan komando dalam risiko apapun. Duet Assagaff-Sahuburua adalah harapan baru bagi pemulihan dan masa depan Maluku lima tahun ke depan. Jutaan rakyat Maluku kini menanti dedikasi, loyalitas, dan totalitas kedua pemimpin berjargon SETIA (Said Assagaff-Ety Sahuburua) ini membawa biduk Maluku ke pelabuhan cita-cita. (RONY SAMLOY)
’’Jika kita kehilangan harta, kita pasti kehilangan segalanya. Jika kita kehilangan pacar dan orang-orang yang dicintai, kita juga akan kehilangan segalanya. Begitupun jika kita kehilangan peluang, kita tentu kehilangan segalanya. Tapi, jika kita kehilangan keberanian, maka kita akan kehilangan segala-galanya’’.=anonym=
PELANTIKKAN Said Asagaff dan Zeth ’Ety’ Sahuburua sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku periode 2014/18 oleh Menteri Dalam Negeri Gamawan Fausy di gedung DPRD Maluku, Senin (10/3), merupakan momentum strategis sekaligus entry poin bagi kedua sosok pasangan birokrat dan politisi ini untuk mengangkat harkat dan martabat Maluku yang selama ini terpuruk dalam berbagai dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara, khusus di level nasional.
Keran aspirasi lokal yang tersumbat berbagai arus kepentingan yang terus bersliweran, harus segera dibuka kembali. Dalam perspektif tersebut, banyak ’Pekerjaan Rumah’ (PR) yang masih belum tuntas dikerjakan pemimpin terdahulu, Karel Albert Ralahalu, selama periode 2003/08 dan 2008/13, yang mesti dituntaskan Assagaff dan tandemnya, Sahuburua, lima tahun ke depan. Visi dan misi politik selama masa kampanye, bukan sekadar retorika birokratif maupun jargon kosong. Semuanya harus diimplementasikan secara gradual (berkesinambungan sesuai Rencana Strategis pembangunan daerah). Namun, optimisme menjulang harus tetap dikobarkan kedua pemimpin ini.
Sebagai pendamping Ralahalu selama lima tahun sebelumnya, Assagaff dengan rekam jejak pemerintahan yang spektakuler dan mengesankan pasti tahu apa yang mesti dilakukannya. Ia tahu bagaimana berkarya di tengah derasnya gelombang. Popularitas bukan ukuran. Loyalitas dan totalitas pengabdian merupakan harga mati. Nyawa bisa saja jadi ’taruhannya’. Itu kalau tulus mencintai rakyat Maluku.
Legitimasi Maluku sebagai Provinsi Kepulauan (Archipelagic Province) dan Lumbung Ikan Nasional (LIN) masih berbelit-belit prosesnya karena ketidakrelaan pemerintah pusat memberikan otonomi khusus kelautan kepada daerah berkarakteristik kepulauan seperti Maluku. Nomenklatur Indonesia sebagai Negara Kepulauan (Archipelagic State) menyusul pengesahan (ratifikasi) Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) di Montego Bay, Jamaika, 10 Desember 1982 (baru diberlakukan pada 1994), tak ’dibreak down’ sampai ke level terendah terkait pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam pesisir.
Sikap ambigu Pempus jelas terlihat karena ketakutan elite-elite politik nasional jika suatu ketika pengerukan sumber daya kelautan dan perikanan di perairan Maluku dibatasi oleh kewenangan daerah penghasil yang mesti lebih sejahtera rakyatnya. Hal ini sebagai penolakan (antitesa) terhadap teori kutukan sumber daya alam yang pertama kali digunakan Richard Auty pada 1993 silam. Kutukan sumber daya atau paradoks keberlimpahan, mengacu pada paradoks bahwa negara dan daerah yang kaya akan sumber daya alam, terutama sumber daya non-terbarukan seperti mineral dan bahan bakar, cenderung mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat dan wujud pembangunan yang lebih buruk ketimbang negara-negara yang sumber daya alamnya langka.
Selebihnya, pemberian otonomi khusus (Otsus) kelautan akan mengekang kekayaan para pejabat daerah dan pusat dari praktik dokumen dan perizinan illegal (illegal lisence) maupun praktik illegal fishing di laut Maluku. Dalam kasus inpor daging sapi, budayawan Arswendo Atmowiloto menukas, kasusnya tak akan habis karena banyak pejabat Negara hidup dari fee pajak infor daging sapi. Kasus illegal fishing maupun illegal lisence dari laut Maluku yang ditaksir merugikan Negara per tahunnya sekira puluhan triliuan rupiah pun nyaris serupa, setali tiga uang.
Matang di pemerintahan, sejak meniti karier sebagai pegawai negeri biasa, pejabat eselon IV dan III, Sekretaris Daerah Maluku (2003/08), Wakil Gubernur Maluku (2008/13), dan kini orang nomor satu Maluku, Assagaff pasti tahu apa yang hendak diperbuat untuk mengangkat lagi keterpurukan Maluku, terutama menekan angka kemiskinan hingga stadium terendah, sehingga Maluku tak terus menerus dikategorikan provinsi termiskin di Tanah Air. Sebetulnya, orang Maluku tak miskin, kekayaan alamnya melimpah dari darat sampai ke dasar laut.
Orang Maluku ’dimiskinkan’ dan menjadi korban tumpang tindihnya regulasi di bidang perikanan, kelautan, perkebunan, kehutanan, mineral, dan pertambangan. Kata orang Ambon ’’otonomisasi tapi masih pakai ’Sasi’. Dalam perspektif kearifan lokal Maluku Tengah, Sasi merupakan larangan untuk mengambil hasil sebelum musim panen tiba.
Bayangkan saja, jika kasus illegal fishing dan illegal lisence bisa diminimalisasi sekecil mungkin dan anggarannya bisa ’dishare’ 25 persen ke Maluku, mungkin Maluku tak terpuruk sampai 60 tahun terakhir ini. Kekayaan laut Maluku dicaplok dan dicuri untuk membangun jalan tol di daerah lain, bahkan ada dugaan kuat, hasil pencurian kekayaan laut Maluku juga digunakan untuk pembangunan jalan tol super modern di Cina, Jepang, Taiwan, Korea Selatan, dan Negara Asia Timur lainnya. Jangan heran, Laut Banda pernah ’digadai’ selama 50 tahun ke Jepang. Karena itu, Jepang lebih tahu di mana lokasi Gas Alam Cair (Liquid Natural Gas/LNG) di perairan Maluku ketimbang Negara lain.
Jika saja hak 10 persen Participating Interest (PI) pengelolaan gas abadi di Blok Masela, Kecamatan Babar Timur, Kabupaten Maluku Barat Daya, direstui pempus, mungkin rakyat Maluku akan sejahtera selama lebih kurang 100 tahun ke depan. Setelah Amerika Serikat (AS) dan sekutunya Jepang ’bermain’ dalam pengelolaan LNG Masela, elite politik lokal dan nasional pun ikut memancing di air keruh dalam pengeksploitasian gas abadi tersebut. Ada tiga partai besar yang saling berebutan fee dan saham di balik pengelolaan LNG Masela. Publik pasti tahu kok!
Di saat orang Maluku harap cemas soal PI 10 persen Blok Masela, pihak asing dan perusahaan nasional justru mencuri sedikit untuk membangun infrastruktur jalan dan jembatan megah di pesisir tengah Indonesia. Didampingi Sahuburua, ’politisi tiga zaman’ yang memulai karier di dunia aktivis hingga jalur politik sejak akhir dekade 1960an, Assagaff diprediksi akan mampu menuntaskan ribuan ’PR’ yang masih menumpuk di depan meja kerja. Pendamping Assagaff bukan politisi sempalan. Semenjak duduk di Fakultas Hukum Universitas Pattimura Ambon, nama Sahuburua sudah membooming di seantero Maluku.
Ia kepincut dan masuk Partai Golongan Karya (Golkar) pada 1971. Kecerdasannya mengantarkan pemuda Nusalaut ini berpidato saat perhelatan Kongres Pemuda Dunia di Markas PBB, New York, Amerika Serikat, tahun 1982. Saat itu, bersama Ketua Umum DPP KNPI, Theo L Sambuaga, Sahuburua ikut berpidato mewakili delegasi pemuda Indonesia. Di tahun yang sama, Sahuburua menjadi anggota DPRD Maluku periode 1982/87. Setelah jadi anggota, Sahuburua sukses dua periode sebagai Wakil Ketua DPRD Maluku (1987/92 dan 1992/97). Karier politiknya terus melesat dan menjadi Ketua DPRD Maluku periode 1997-2004.
Ia menjadi satu-satunya politisi Golkar yang dua kali menjabat Ketua DPD Partai Golkar Maluku selama kurun 2009-2015. Selain diharapkan memperjuangkan aspirasi Maluku di Jakarta, Assagaff-Sahuburua pun diimbau untuk mengonsolidasikan dunia olahraga Maluku yang saat ini telah menargetkan sedikitnya 8-9 medali emas di Pekan Olahraga Nasional (PON) XIX Jawa Barat pada pertengahan 2016. Kedua sosok ini dinilai tepat membangun prestasi olahraga Maluku karena Assagaff merupakan ketua pengprov FORKI Maluku 2009/14, sementara Sahuburua pernah menjabat Ketua PBVSI Maluku periode 2004/08.
Tak kalah penting menghidupkan kekuatan seni musik dan budaya Maluku yang perlahan-lahan mulai tergerus keberanian daerah lain menggusur dominasi Maluku di dunia tarik suara maupun pentas-pentas budaya nasional.
Seluruh misi dan visi yang diemban Assagaff-Sahuburua tak semudah membalikkan telapak tangan untuk diimplementasikan. Harus step by step. Keberanian bersikap dan bertindak dari kedua sosok kenyang pengalaman di lingkup birokrasi dan ring politik ini menjadi keniscayaan. Apalagi, Sahuburua merupakan sosok pengagum moto ‘’jika kita kehilangan keberanian, maka kita kehilangan segala-galanya’’.
Yang penting, jangan menggadaikan hak kesulungan, menjual identitas lokal melalui pemberian (penganugerahan) gelar-gelar adat kepada elite nasional, hanya untuk mengemis anggaran pempus.
Tanpa keberanian kedua pemimpin ini, Maluku akan terus terpuruk dan tak pernah dihargai dalam konstelasi maupun konfigurasi politik nasional di abad ke-21.
sesnya personel Marinir AS maupun pasukan Penjaga Pantainya dalam seluruh medan tugas bukan karena kekuatan personel-personel tersebut, tapi konsistensi mereka memegang semboyan: Selalu Setia (’’Semper Fidelis’’ atau ’’Semper Fi’’)’ dan Selalu Siap (’’Semper Paratus’’) menjalankan komando dalam risiko apapun. Duet Assagaff-Sahuburua adalah harapan baru bagi pemulihan dan masa depan Maluku lima tahun ke depan. Jutaan rakyat Maluku kini menanti dedikasi, loyalitas, dan totalitas kedua pemimpin berjargon SETIA (Said Assagaff-Ety Sahuburua) ini membawa biduk Maluku ke pelabuhan cita-cita. (RONY SAMLOY)