Konflik Maluku, Nyawa Manusia Masih Dihargai Sebutir Proyektil Peluru
http://www.beritamalukuonline.com/2014/02/konflik-maluku-nyawa-manusia-masih.html
Ambon - Berita Maluku. Teori sosiologi menyebutkan interaksi sosial dalam suatu kelompok masyarakat bukan saja berupa dialog sesehari tetapi konflik akibat perbedaan pendapat atau provokasi juga merupakan bagian dari sebuah proses interaksi.
Namun untuk interaksi sosial yang bersifat konflik seperti ini, tentunya akan meninggal luka trauma dan dendam yang tidak akan terlupakan dengan mudahnya.
Konflik seperti ini juga akan membuat seseorang atau dalam bentuk kelompok akan menjalin rasa solidaritas yang tinggi dan peka terhadap sebuah peristiwa yang dinilai merugikan kelompok terebut.
Konflik kemanusiaan 19 Januari 1999 di Maluku misalnya, barangkali merupakan sebuah sejarah hitam yang kelam terhadap masyarakat di daerah ini.
Tapi perlu diingat pula, jauh sebelum terjadi konflik 1999 di Maluku, yang namanya perkelahian antarkampung atau negeri bertetangga akibat dipicu persoalan batas wilayah atau sumber air hingga perkelahian pemuda yang berujung pelibatan massa sudah sering terjadi.
Interaksi sosial seperti ini muncul di Pulau Ambon, Seram, Lease, Saparua hingga Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual atau Kabupaten Kepulauan Aru dan Maluku Tenggara Barat.
Hanya saja, yang paling fenomenal adalah konflik kemanusiaan 1999 bisa membuat masyarakat yang biasanya terkenal ramah dan murah senyum terhadap siapa saja berubah menjadi anarkhis, tidak bersahabat, penuh curiga dan mudah kehilangan empati kepada sesama umat manusia.
Sejarah kelam ini juga membuat masyarakat yang ingin mempertahankan hidupnya berusaha membuat senjata tajam, senjata api rakitan hingga bahan peledak.
Kalau material untuk membuat senjata tajam memang tidak sulit, tapi ironisnya pembuatan senjata api rakitan baik laras panjang maupun pendek ini bisa dilakukan dengan gampang, dan dengan mudahnya lagi masyarakat dapat memperoleh butiran proyektil peluru berbagai jenis produksi pabrikan.
Lima tahun pascakonflik sosial di Maluku, situasi keamanan dan ketertiban masyarakat makin terkendali, namun berbagai kasus kontigensi atau bentrokan antara warga desa bertetangga selalu bermunculan di mana-mana.
Sejarah kelam ini juga membuat masyarakat yang ingin mempertahankan hidupnya berusaha membuat senjata tajam, senjata api rakitan hingga bahan peledak.
Kalau material untuk membuat senjata tajam memang tidak sulit, tapi ironisnya pembuatan senjata api rakitan baik laras panjang maupun pendek ini bisa dilakukan dengan gampang, dan dengan mudahnya lagi masyarakat dapat memperoleh butiran proyektil peluru berbagai jenis produksi pabrikan.
Kapolda Maluku, Brigjen Polisi Murad Ismail mengakui, polisi telah memprediksi terjadinya kasus-kasus kontigensi yang akan muncul dalam tahun 2014.
Meskipun aparat keamanan baik Kepolisian Negara Republik Indonesia maupun TNI Angkatan Darat berhasil menyita atau menerima penyerahan senpi rakitan maupun organik, amunisi dan bahan peledak dari warga.
Proses razia maupun penyerahan senpi masih berlangsung sampai saat ini, tapi fakta menunjukkan setiap terjadi perkelahian antarwarga desa bertetangga, yang namanya bunyi letusan senjata api organik maupun rakitan dan bunyi ledakan bom tidak pernah luput.
Pernyataan Kapolda ini mulai terbukti dari awal Januari, dimana terjadi perkelahian warga Laha dengan Tawiri sehingga membuat jenderal polisi berbintang satu ini langsung turun ke TKP menenangkan warga.
Kemudian kasus pemotongan warga Sirisori Amalatu terhadap warga Tuhaha yang dibalas aksi penembakan oleh orang tak dikenal serta penembakan dan pelemparan bom rakitan di perbatasan Desa Mamala-Moral.
Di Kabupaten Kepulauan Aru, tiga warga Desa Mesiang, Kecamatan Aru Tengah Selatan, jadi korban penembakan aparat Brimob pada tanggal 3 Februari kemarin akibat bersikeras ingin menyerang warga Desa Gomogomo, hanya akibat sengketa perbatasan wilayah laut yang menjadi tempat menyelam untuk memanen teripang.
Polres Kepulauan Aru beralasan, ketiga warga tersebut terkena tembakan tiga anggota Brimob yang melepaskan tembakan peringatan, namun posisi mereka juga terancam akibat diserang massa yang menggunakan belasan angkutan laut sambil membawa busur dan anak panah.
Masyarakat Maluku juga dibuat terpana dengan bentrokan warga Kailolo dan Pelauw pada Kamis, (13/2) subuh sekitar pukul 04.30 WIT.
Peristiwa ini kembali menyebabkan satu warga tewas diterjang sebutir proyektil peluru dan lima warga lainnya menderita luka ringan dan berat akibat terkena tembakan maupun serpihan bom dan luka bacok serta lima rumah warga terbakar.
Kemudian kasus pemotongan warga Sirisori Amalatu terhadap warga Tuhaha yang dibalas aksi penembakan oleh orang tak dikenal serta penembakan dan pelemparan bom rakitan di perbatasan Desa Mamala-Moral.
Di Kabupaten Kepulauan Aru, tiga warga Desa Mesiang, Kecamatan Aru Tengah Selatan, jadi korban penembakan aparat Brimob pada tanggal 3 Februari kemarin akibat bersikeras ingin menyerang warga Desa Gomogomo, hanya akibat sengketa perbatasan wilayah laut yang menjadi tempat menyelam untuk memanen teripang.
Polres Kepulauan Aru beralasan, ketiga warga tersebut terkena tembakan tiga anggota Brimob yang melepaskan tembakan peringatan, namun posisi mereka juga terancam akibat diserang massa yang menggunakan belasan angkutan laut sambil membawa busur dan anak panah.
Lindungi tersangka Rasa solidaritas yang berlebihan dan menyimpang dari warga membuat mereka juga terkadang tidak bersifat jujur dan terbuka kepada aparat keamanan dalam mengungkap sebuah peristiwa pidana yang berujung bentrok antarkampung.
Kondisi seperti ini juga diakui Kapolres Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease AKBP I Putu Bintang Juliana.
Dia membenarkan kalau kebiasaan kurang baik dari masyarakat sekarang ini adalah masih suka melindungi pelaku yang diduga melakukan kejahatan.
"Terkadang masyarakat kita masih suka melindungi atau pura-pura tidak tahu tentang sebuah situasi kejadian di lapangan sehingga turut menghambat kerja polisi dalam melakukan pengungkapan," ujarnya.
Jadi jangan selalu menyalahkan kepolisian yang agak lambat menangani satu perkara pidana, karena proses hukum itu ada tahapannya mulai dari pemeriksaan saksi dan bukti-bukti yang cukup.
Menurutnya, penyidik seringkali terkendala dengan masalah saksi yang seharusnya bisa memberikan keterangan atau petunjuk kepada polisi untuk mengarah pada pengungkapan sebuah kasus.
Tapi pada saat diperiksa, justru tidak dibuka secara transparan sehingga menghambat kerja polisi dalam melakukan pengungkapan.
Menurut Kapolres, pihaknya sudah mengantongi beberapa nama yang diduga sebagai tersangka pemarangan Feri Sasabone di lokasi penggalian pasir dekat perbatasan Desa Sirisoi Amalatu, tapi sampai saat ini belum bisa diringkus polisi karena keberadaannya dirahasiakan.
"Padahal penangkapan para pelaku ini memerlukan partisipasi masyarakat, artinya kami berharap kalau memang itu pelakunya warga desa tertentu, maka kepala desa atau raja bersama warga diminta secara berjiwa besar menyerahkan yang bersangkutan kepada polisi," tegasnya.
Sebab siapa pun yang salah di mata hukum harus diproses sesuai perbuatannya, jangan terus dilindungi karena semua orang ingin hidup dalam kondisi aman serta damai, dan di sini peranan masyarakat sangat besar untuk sama-sama menjaganya.
Kalau memang sudah mengetahui dengan jelas keterlibatan seorang warga sebagai pelaku, maka tolong diserahkan ke polisi dan bukannya dilindungi lalu saling melakukan aksi balasan.
Bila sudah seperti itu tindakannya, berarti masyarakat sudah sadar dengan keamanan lingkungannya.
"Pola seperti ini kalau diterapkan semua negeri, saya kira wilayah ini jadi sangat aman dan kondusif sebab masyarakat sudah bisa memproteksi diri dengan melakukan kegiatan-kegiatan positif, artinya bisa mengidentifikasi anggota warga yang diduga melakukan tindakan provokasi dan melaporkan atau menyerahkan ke polisi," katanya.
Menurut Kapolres, Instruksi Presiden (Inpres) nomor 02/2013 tentang penanganan konflik ternyata belum dipatuhi dan diterapkan oleh Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah secara baik.
Padahal implementasi Inpres tersebut oleh pemerintah kabupaten sebenarnya sangat strategis di wilayah administratif mereka untuk menangani warganya pascakonflik.
Tugas dan fungsi aparat keamanan, dalam hal ini Polri hanya melakukan pengamanan dan menyekat ruang gerak warga saat bentrokan agar tidak meluas.
Selanjutnya bukan menjadi kewajiban polisi untuk menangani para warga yang menjadi korban pertikaian hingga mengatur masalah kebutuhan lainnya.
"Yang kami tangani itu ketika terjadi bentrokan dan setelah itu menjalankan tugas penyelidikan dan penyidikan guna mencari para oknum yang menyebabkan pertikaian antarwarga untuk diproses hukum," tandas Kapolres.
Sebab dalam Inpres ini sudah mengatur secara jelas kewajiban pemerintah daerah misalnya untuk menjalankan tugas rehabilitasi dan itu bukanlah tanggung jawab aparat kepolisian.
Secara Acak Kapolda Brigjen Polisi Murat Ismail menegaskan akan meningkatkan kegiatan razia senjata api (senpi) rakitan maupun pabrikan secara acak di seluruh wilayah.
"Kasus kejahatan konvensional masih marak terjadi, khususnya penggunaan senpi sehingga razia acak ini diharapkan menjadi salah satu upaya preventif," katanya.
Penggunaan senpi rakitan maupun produksi pabrikan oleh orang tidak bertanggung jawab di Maluku sejak awal tahun ini sudah menelan korban jiwa seperti di Kecamatan Saparua, Kecamatan Leihitu khususnya perbatasan Negeri Mamala-Morela dan Kota Ambon.
Menurut Kapolda, masalah kriminalitas lainnya di masyarakat yang perlu disikapi polisi adalah kekerasan geng motor sehingga setiap para kepala satuan wilayah harus mengambil langkah preventif dalam kegiatan kekerasan jalanan yang terjadi.
Para Kasatwil juga harus melakukan terobosan dan memotivasi anggota guna mewujudkan postur Polri sebagai sosok penolong, sahabat masyarakat dan sebagai penegak hukum yang benar-benar adil, tidak hanya mengejar kepastian hukum tapi juga mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat Diharapkan tidak ada lagi anggota Polri yang menciderai citra Polri dengan merekayasa kasus dan memusuhi masyarakat seperti kasus terangka dijadikan mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM) untuk diperas oleh anggota Reskrim Polrestro Jakarta Timur.
Belum adanya kesadaran masyarakat untuk menyerahkan senjata api dan amunisi serta bahan peledak secara menyeluruh, tentunya menjadi ancaman bagi setiap orang untuk berhati-hati atau waspada, karena bisa saja dengan mudahnya menjadi korban penembakan orang tak dikenal Sehingga lewat peran aktif Polri dan TNI ke depan, diharapkan dalam 'Tahun Politik' ini tidak ada lagi kasus-kasus penembakan warga yang nyawanya hanya dihargai dengan sebutir proyektil peluru. (Penulis: Daniel Leonard/ant/bm 10)
Namun untuk interaksi sosial yang bersifat konflik seperti ini, tentunya akan meninggal luka trauma dan dendam yang tidak akan terlupakan dengan mudahnya.
Konflik seperti ini juga akan membuat seseorang atau dalam bentuk kelompok akan menjalin rasa solidaritas yang tinggi dan peka terhadap sebuah peristiwa yang dinilai merugikan kelompok terebut.
Konflik kemanusiaan 19 Januari 1999 di Maluku misalnya, barangkali merupakan sebuah sejarah hitam yang kelam terhadap masyarakat di daerah ini.
Tapi perlu diingat pula, jauh sebelum terjadi konflik 1999 di Maluku, yang namanya perkelahian antarkampung atau negeri bertetangga akibat dipicu persoalan batas wilayah atau sumber air hingga perkelahian pemuda yang berujung pelibatan massa sudah sering terjadi.
Interaksi sosial seperti ini muncul di Pulau Ambon, Seram, Lease, Saparua hingga Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual atau Kabupaten Kepulauan Aru dan Maluku Tenggara Barat.
Hanya saja, yang paling fenomenal adalah konflik kemanusiaan 1999 bisa membuat masyarakat yang biasanya terkenal ramah dan murah senyum terhadap siapa saja berubah menjadi anarkhis, tidak bersahabat, penuh curiga dan mudah kehilangan empati kepada sesama umat manusia.
Sejarah kelam ini juga membuat masyarakat yang ingin mempertahankan hidupnya berusaha membuat senjata tajam, senjata api rakitan hingga bahan peledak.
Kalau material untuk membuat senjata tajam memang tidak sulit, tapi ironisnya pembuatan senjata api rakitan baik laras panjang maupun pendek ini bisa dilakukan dengan gampang, dan dengan mudahnya lagi masyarakat dapat memperoleh butiran proyektil peluru berbagai jenis produksi pabrikan.
Lima tahun pascakonflik sosial di Maluku, situasi keamanan dan ketertiban masyarakat makin terkendali, namun berbagai kasus kontigensi atau bentrokan antara warga desa bertetangga selalu bermunculan di mana-mana.
Sejarah kelam ini juga membuat masyarakat yang ingin mempertahankan hidupnya berusaha membuat senjata tajam, senjata api rakitan hingga bahan peledak.
Kalau material untuk membuat senjata tajam memang tidak sulit, tapi ironisnya pembuatan senjata api rakitan baik laras panjang maupun pendek ini bisa dilakukan dengan gampang, dan dengan mudahnya lagi masyarakat dapat memperoleh butiran proyektil peluru berbagai jenis produksi pabrikan.
Kapolda Maluku, Brigjen Polisi Murad Ismail mengakui, polisi telah memprediksi terjadinya kasus-kasus kontigensi yang akan muncul dalam tahun 2014.
Meskipun aparat keamanan baik Kepolisian Negara Republik Indonesia maupun TNI Angkatan Darat berhasil menyita atau menerima penyerahan senpi rakitan maupun organik, amunisi dan bahan peledak dari warga.
Proses razia maupun penyerahan senpi masih berlangsung sampai saat ini, tapi fakta menunjukkan setiap terjadi perkelahian antarwarga desa bertetangga, yang namanya bunyi letusan senjata api organik maupun rakitan dan bunyi ledakan bom tidak pernah luput.
Pernyataan Kapolda ini mulai terbukti dari awal Januari, dimana terjadi perkelahian warga Laha dengan Tawiri sehingga membuat jenderal polisi berbintang satu ini langsung turun ke TKP menenangkan warga.
Kemudian kasus pemotongan warga Sirisori Amalatu terhadap warga Tuhaha yang dibalas aksi penembakan oleh orang tak dikenal serta penembakan dan pelemparan bom rakitan di perbatasan Desa Mamala-Moral.
Di Kabupaten Kepulauan Aru, tiga warga Desa Mesiang, Kecamatan Aru Tengah Selatan, jadi korban penembakan aparat Brimob pada tanggal 3 Februari kemarin akibat bersikeras ingin menyerang warga Desa Gomogomo, hanya akibat sengketa perbatasan wilayah laut yang menjadi tempat menyelam untuk memanen teripang.
Polres Kepulauan Aru beralasan, ketiga warga tersebut terkena tembakan tiga anggota Brimob yang melepaskan tembakan peringatan, namun posisi mereka juga terancam akibat diserang massa yang menggunakan belasan angkutan laut sambil membawa busur dan anak panah.
Masyarakat Maluku juga dibuat terpana dengan bentrokan warga Kailolo dan Pelauw pada Kamis, (13/2) subuh sekitar pukul 04.30 WIT.
Peristiwa ini kembali menyebabkan satu warga tewas diterjang sebutir proyektil peluru dan lima warga lainnya menderita luka ringan dan berat akibat terkena tembakan maupun serpihan bom dan luka bacok serta lima rumah warga terbakar.
Kemudian kasus pemotongan warga Sirisori Amalatu terhadap warga Tuhaha yang dibalas aksi penembakan oleh orang tak dikenal serta penembakan dan pelemparan bom rakitan di perbatasan Desa Mamala-Moral.
Di Kabupaten Kepulauan Aru, tiga warga Desa Mesiang, Kecamatan Aru Tengah Selatan, jadi korban penembakan aparat Brimob pada tanggal 3 Februari kemarin akibat bersikeras ingin menyerang warga Desa Gomogomo, hanya akibat sengketa perbatasan wilayah laut yang menjadi tempat menyelam untuk memanen teripang.
Polres Kepulauan Aru beralasan, ketiga warga tersebut terkena tembakan tiga anggota Brimob yang melepaskan tembakan peringatan, namun posisi mereka juga terancam akibat diserang massa yang menggunakan belasan angkutan laut sambil membawa busur dan anak panah.
Lindungi tersangka Rasa solidaritas yang berlebihan dan menyimpang dari warga membuat mereka juga terkadang tidak bersifat jujur dan terbuka kepada aparat keamanan dalam mengungkap sebuah peristiwa pidana yang berujung bentrok antarkampung.
Kondisi seperti ini juga diakui Kapolres Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease AKBP I Putu Bintang Juliana.
Dia membenarkan kalau kebiasaan kurang baik dari masyarakat sekarang ini adalah masih suka melindungi pelaku yang diduga melakukan kejahatan.
"Terkadang masyarakat kita masih suka melindungi atau pura-pura tidak tahu tentang sebuah situasi kejadian di lapangan sehingga turut menghambat kerja polisi dalam melakukan pengungkapan," ujarnya.
Jadi jangan selalu menyalahkan kepolisian yang agak lambat menangani satu perkara pidana, karena proses hukum itu ada tahapannya mulai dari pemeriksaan saksi dan bukti-bukti yang cukup.
Menurutnya, penyidik seringkali terkendala dengan masalah saksi yang seharusnya bisa memberikan keterangan atau petunjuk kepada polisi untuk mengarah pada pengungkapan sebuah kasus.
Tapi pada saat diperiksa, justru tidak dibuka secara transparan sehingga menghambat kerja polisi dalam melakukan pengungkapan.
Menurut Kapolres, pihaknya sudah mengantongi beberapa nama yang diduga sebagai tersangka pemarangan Feri Sasabone di lokasi penggalian pasir dekat perbatasan Desa Sirisoi Amalatu, tapi sampai saat ini belum bisa diringkus polisi karena keberadaannya dirahasiakan.
"Padahal penangkapan para pelaku ini memerlukan partisipasi masyarakat, artinya kami berharap kalau memang itu pelakunya warga desa tertentu, maka kepala desa atau raja bersama warga diminta secara berjiwa besar menyerahkan yang bersangkutan kepada polisi," tegasnya.
Sebab siapa pun yang salah di mata hukum harus diproses sesuai perbuatannya, jangan terus dilindungi karena semua orang ingin hidup dalam kondisi aman serta damai, dan di sini peranan masyarakat sangat besar untuk sama-sama menjaganya.
Kalau memang sudah mengetahui dengan jelas keterlibatan seorang warga sebagai pelaku, maka tolong diserahkan ke polisi dan bukannya dilindungi lalu saling melakukan aksi balasan.
Bila sudah seperti itu tindakannya, berarti masyarakat sudah sadar dengan keamanan lingkungannya.
"Pola seperti ini kalau diterapkan semua negeri, saya kira wilayah ini jadi sangat aman dan kondusif sebab masyarakat sudah bisa memproteksi diri dengan melakukan kegiatan-kegiatan positif, artinya bisa mengidentifikasi anggota warga yang diduga melakukan tindakan provokasi dan melaporkan atau menyerahkan ke polisi," katanya.
Menurut Kapolres, Instruksi Presiden (Inpres) nomor 02/2013 tentang penanganan konflik ternyata belum dipatuhi dan diterapkan oleh Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah secara baik.
Padahal implementasi Inpres tersebut oleh pemerintah kabupaten sebenarnya sangat strategis di wilayah administratif mereka untuk menangani warganya pascakonflik.
Tugas dan fungsi aparat keamanan, dalam hal ini Polri hanya melakukan pengamanan dan menyekat ruang gerak warga saat bentrokan agar tidak meluas.
Selanjutnya bukan menjadi kewajiban polisi untuk menangani para warga yang menjadi korban pertikaian hingga mengatur masalah kebutuhan lainnya.
"Yang kami tangani itu ketika terjadi bentrokan dan setelah itu menjalankan tugas penyelidikan dan penyidikan guna mencari para oknum yang menyebabkan pertikaian antarwarga untuk diproses hukum," tandas Kapolres.
Sebab dalam Inpres ini sudah mengatur secara jelas kewajiban pemerintah daerah misalnya untuk menjalankan tugas rehabilitasi dan itu bukanlah tanggung jawab aparat kepolisian.
Secara Acak Kapolda Brigjen Polisi Murat Ismail menegaskan akan meningkatkan kegiatan razia senjata api (senpi) rakitan maupun pabrikan secara acak di seluruh wilayah.
"Kasus kejahatan konvensional masih marak terjadi, khususnya penggunaan senpi sehingga razia acak ini diharapkan menjadi salah satu upaya preventif," katanya.
Penggunaan senpi rakitan maupun produksi pabrikan oleh orang tidak bertanggung jawab di Maluku sejak awal tahun ini sudah menelan korban jiwa seperti di Kecamatan Saparua, Kecamatan Leihitu khususnya perbatasan Negeri Mamala-Morela dan Kota Ambon.
Menurut Kapolda, masalah kriminalitas lainnya di masyarakat yang perlu disikapi polisi adalah kekerasan geng motor sehingga setiap para kepala satuan wilayah harus mengambil langkah preventif dalam kegiatan kekerasan jalanan yang terjadi.
Para Kasatwil juga harus melakukan terobosan dan memotivasi anggota guna mewujudkan postur Polri sebagai sosok penolong, sahabat masyarakat dan sebagai penegak hukum yang benar-benar adil, tidak hanya mengejar kepastian hukum tapi juga mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat Diharapkan tidak ada lagi anggota Polri yang menciderai citra Polri dengan merekayasa kasus dan memusuhi masyarakat seperti kasus terangka dijadikan mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM) untuk diperas oleh anggota Reskrim Polrestro Jakarta Timur.
Belum adanya kesadaran masyarakat untuk menyerahkan senjata api dan amunisi serta bahan peledak secara menyeluruh, tentunya menjadi ancaman bagi setiap orang untuk berhati-hati atau waspada, karena bisa saja dengan mudahnya menjadi korban penembakan orang tak dikenal Sehingga lewat peran aktif Polri dan TNI ke depan, diharapkan dalam 'Tahun Politik' ini tidak ada lagi kasus-kasus penembakan warga yang nyawanya hanya dihargai dengan sebutir proyektil peluru. (Penulis: Daniel Leonard/ant/bm 10)