Rudolf Tomasoa, 25 Tahun Berjualan Koran: Musibah 1984 Merenggut Cita-citanya Menjadi Pendeta
http://www.beritamalukuonline.com/2013/03/rudolf-tomasoa-25-berjualan-koran.html?m=0
ADA sebuah kalimat celoteh dari pinggir jalan dan rumah-rumah kopi yang bunyinya begini: ’’Daripada berikan penghargaan Hari Pers Nasional (HPN) untuk pejabat yang tak punya kedekatan langsung dengan dunia pers, mendingan dianugerahi saja bagi Olop Tomasoa’’.
Figur sentral dalam obrolan ringan para jurnalis lokal itu itu memang layak dieksplorasi untuk menggugah kalangan pemilik media terbitan maupun kalangan jurnalis Maluku bahwa ada insan yang lebih layak memperoleh ’’testimoni agung’’ pers seperti itu.
Itu bukan basa-basi. Sebab, penganugerahan HPN terlalu eksklusif, dan birokratis, sehingga akhirnya menghilangkan nilai-nilai humanis dan sentuhan-sentuhan populistis yang diidam-idamkan dalam pers. Pers lebih mengedepankan pendekatan maupun kedekatan politik dan kekuasaan ketimbang human interest (aspek kemanusiaan). Pers tak sekadar membesarkan person, tapi lebih dari itu, pers berkewajiban untuk memanusiakan manusia.
Singkat cerita, tanpa ’’peran militan’’ seorang loper, sebagus apapun berita yang dibuat jurnalis dan kemudian diberitakan media massa cetak, takkan laku dibeli pembaca. Rudolf atau Olop Tomasoa,43, menjadi ikon di balik percakapan serius menyangkut kelayakan seseorang menerima HPN.
Sudah masuk 25 tahun atau sejak awal 1988, Olop sudah melayani kebutuhan berita pembaca. ’’Karena saya berjualan di dermaga Feri Galala-Poka, makanya kenalan saya kebanyakan dari mahasiswa, dosen, dan pegawai Unpatti,’’ kisahnya kepada penulis di Ambon, Rabu (27/3/2013).
Menghadang terik mentari dan derasnya hujan, Olop setia melayani pembeli. Awalnya dia terjun ke dunia ini setelah diajak mendiang Ely Sutrahitu. Ely adalah Pimpinan Redaksi Suara Maluku (waktu itu Jawa Pos Group) dan mantan Ketua PWI Maluku.
’’Waktu itu Om Ely wartawan Sinar Harapan,’’ kenangnya. Sejumlah koran yang ditawari Olop kepada pembeli, antara lain Pos Maluku, Jawa Pos, Sinar Harapan, dan Berita Nasional. Tamatan Sekolah Dasar (SD) ini mengaku awalnya dia bercita-cita menjadi pendeta.
’’Tapi tahun 1984 saya kena musibah, saya ditabrak sepeda motor. Untung tak berakibat fatal. Dan karena kecelakaan-kecelakaan lain yang saya alami sesudah itu, saya akhirnya memutuskan tak melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama,’’ tutur anak kelima dari 10 bersaudara pasangan (alm) Fredy Tomasoa dan (almh) Mintje Paliyama ini.
Diceritakan Olop, setelah menekuni profesi ini, banyak suka yang dia dapati. ’’Teman saya banyak karena jual koran,’’ imbuhnya.
Soal pengalaman pahit, kata Olop, relatif sedikit. ’’Ya, ada yang ambil koran lalu baca, tapi mereka tak bayar. Itu sudah kehidupan jadi loper,’’ terangnya. Jika pers berbesar hati, Olop mesti dihargai dalam kerangka jurnalisme yang memanusiakan manusia, jurnalisme yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan.
Lupakan seluruh isu menyangkut pergulatan politik yang membosankan. Mari kita cakapkan ini. Olop layak dimanusiakan dalam pergulatan di ranah pers yang membingkai nilai-nilai kemanusiaan sebagai karya agung Sang Pencipta Alam Semesta. Maju terus, Olop.!! (RONY SAMLOY)
Figur sentral dalam obrolan ringan para jurnalis lokal itu itu memang layak dieksplorasi untuk menggugah kalangan pemilik media terbitan maupun kalangan jurnalis Maluku bahwa ada insan yang lebih layak memperoleh ’’testimoni agung’’ pers seperti itu.
Itu bukan basa-basi. Sebab, penganugerahan HPN terlalu eksklusif, dan birokratis, sehingga akhirnya menghilangkan nilai-nilai humanis dan sentuhan-sentuhan populistis yang diidam-idamkan dalam pers. Pers lebih mengedepankan pendekatan maupun kedekatan politik dan kekuasaan ketimbang human interest (aspek kemanusiaan). Pers tak sekadar membesarkan person, tapi lebih dari itu, pers berkewajiban untuk memanusiakan manusia.
Singkat cerita, tanpa ’’peran militan’’ seorang loper, sebagus apapun berita yang dibuat jurnalis dan kemudian diberitakan media massa cetak, takkan laku dibeli pembaca. Rudolf atau Olop Tomasoa,43, menjadi ikon di balik percakapan serius menyangkut kelayakan seseorang menerima HPN.
Sudah masuk 25 tahun atau sejak awal 1988, Olop sudah melayani kebutuhan berita pembaca. ’’Karena saya berjualan di dermaga Feri Galala-Poka, makanya kenalan saya kebanyakan dari mahasiswa, dosen, dan pegawai Unpatti,’’ kisahnya kepada penulis di Ambon, Rabu (27/3/2013).
Menghadang terik mentari dan derasnya hujan, Olop setia melayani pembeli. Awalnya dia terjun ke dunia ini setelah diajak mendiang Ely Sutrahitu. Ely adalah Pimpinan Redaksi Suara Maluku (waktu itu Jawa Pos Group) dan mantan Ketua PWI Maluku.
’’Waktu itu Om Ely wartawan Sinar Harapan,’’ kenangnya. Sejumlah koran yang ditawari Olop kepada pembeli, antara lain Pos Maluku, Jawa Pos, Sinar Harapan, dan Berita Nasional. Tamatan Sekolah Dasar (SD) ini mengaku awalnya dia bercita-cita menjadi pendeta.
’’Tapi tahun 1984 saya kena musibah, saya ditabrak sepeda motor. Untung tak berakibat fatal. Dan karena kecelakaan-kecelakaan lain yang saya alami sesudah itu, saya akhirnya memutuskan tak melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama,’’ tutur anak kelima dari 10 bersaudara pasangan (alm) Fredy Tomasoa dan (almh) Mintje Paliyama ini.
Diceritakan Olop, setelah menekuni profesi ini, banyak suka yang dia dapati. ’’Teman saya banyak karena jual koran,’’ imbuhnya.
Soal pengalaman pahit, kata Olop, relatif sedikit. ’’Ya, ada yang ambil koran lalu baca, tapi mereka tak bayar. Itu sudah kehidupan jadi loper,’’ terangnya. Jika pers berbesar hati, Olop mesti dihargai dalam kerangka jurnalisme yang memanusiakan manusia, jurnalisme yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan.
Lupakan seluruh isu menyangkut pergulatan politik yang membosankan. Mari kita cakapkan ini. Olop layak dimanusiakan dalam pergulatan di ranah pers yang membingkai nilai-nilai kemanusiaan sebagai karya agung Sang Pencipta Alam Semesta. Maju terus, Olop.!! (RONY SAMLOY)