Dari 71 Bahasa Daerah Maluku, 3 Punah
AMBON - BERITA MALUKU. Kepala Balai Bahasa Provinsi Maluku, Kity Karenisa, mengingatkan bahwa kondisi kebahasaan di Maluku kini berada dalam situasi darurat. Dengan 71 bahasa daerah, Maluku menjadi salah satu provinsi dengan keragaman bahasa tertinggi di Indonesia, namun paradoksnya, banyak di antaranya berada di ambang kepunahan.
“Berbeda dengan provinsi di Indonesia bagian barat seperti Jawa Tengah yang hanya memiliki satu bahasa daerah besar, Maluku punya banyak bahasa, tetapi dengan jumlah penutur yang sangat sedikit,” ujar Karenisa kepada wartawan usai Inventarisasi Materi tentang Pengawasan Atas Pelaksanaan Undang-Undang No.5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan Terkait Bahasa Daerah, bersama Komite III DPD di Balai Bahasa Provinsi Maluku, Ambon, Senin (1/12/2025).
Menurutnya, Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa menetapkan enam tingkat vitalitas bahasa, dari kategori aman hingga punah. Dari 718 bahasa daerah di Indonesia, baru 113 bahasa yang selesai dikaji tingkat vitalitasnya. Hasilnya mengkhawatirkan, dari 18 bahasa yang masuk kategori aman, terdapat 5 bahasa telah dinyatakan punah, dan 3 di antaranya berasal dari Maluku, yakni bahasa Kaili, Piru, dan Hoti.
“Bahasa daerah punah karena tidak lagi diturunkan dari generasi tua kepada generasi muda. Ketika proses ini terhenti, bahasanya hilang,” tegasnya.
Ia mengakui hampir seluruh bahasa daerah di provinsi ini berada dalam status terancam. Upaya revitalisasi pun dilakukan secara bertahap. Hingga kini, pihaknya telah merevitalisasi 9 bahasa, serta mengembalikan tiga bahasa, Buru, Yamdena, dan Kei, kepada pemerintah daerah karena masing-masing kabupaten dinilai telah memiliki formula pelestarian sendiri.
Saat ini, revitalisasi dilakukan pada enam bahasa, Bahasa Seram/Seran dan Elnama di Kabupaten Seram Bagian Timur, Bahasa Moa di Kabupaten Maluku Barat Daya, Bahasa Hitu di Kabupaten Maluku Tengah, Bahasa Tarangan Barat di Kabupaten Kepulauan Tanimbar, dan Bahasa Manombai/Gananbai di Kabupaten Kepulauan Aru.
Kondisi di lapangan menunjukkan perbedaan mencolok. Misalnya, di Hitu, Karenisa menyebutkan penggunaan bahasa daerah di kalangan anak muda sangat menurun, bahkan diakui oleh para raja negeri. Sementara itu, di wilayah lain seperti Ganabai atau Manonbai, vitalitas bahasa masih relatif baik.
Namun ia menegaskan, keberhasilan pelestarian bahasa tidak hanya bergantung pada program pemerintah.
“Revitalisasi tidak bisa berlangsung sebentar. Yang paling berperan adalah keluarga. Kalau bahasa daerah tidak digunakan di rumah, kita akan kehilangan lebih banyak bahasa lagi,” katanya.
Karenisa juga menyoroti pentingnya implementasi muatan lokal bahasa daerah di sekolah-sekolah. Maluku sebenarnya telah memiliki Perda yang mengatur hal tersebut, tetapi pelaksanaan di daerah perlu disepakati secara matang, termasuk pemilihan bahasa yang akan diajarkan serta penyediaan sumber belajar.
Semua temuan dan tantangan ini, tambahnya, perlu menjadi dasar pemikiran dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang Bahasa Daerah, agar kebijakan nasional mampu menjawab realitas kebahasaan di wilayah-wilayah multibahasa seperti Maluku.
“Kalau keluarga tidak bicara dalam bahasa daerah, sekolah tidak akan mampu menyelamatkan semuanya,” tutup Karenisa.
