Wabup MBD Tak Sepakat Sebutan ’Pulau Terluar’
http://www.beritamalukuonline.com/2015/04/wabup-mbd-tak-sepakat-sebutan-pulau.html
Ambon - Berita Maluku. Wakil Bupati Maluku Barat Daya (MBD) Johanis Letelay mengungkapkan dirinya tidak sependapat dengan sebagian kalangan yang mengistilahkan pulau-pulau yang menjadi beranda depan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan sebutan ’pulau-pulau terluar’.
’’Saya ingin meluruskan kepada bapak ketua dan anggota Komisi VII DPR RI, bapak Gubernur dan seluruh hadirin saat ini, bahwa saya sangat tidak setuju penggunaan istilah pulau terluar, sebab kalau pakai istilah pulau terluar berarti pemerintah tidak akan pernah mempedulikannya. Saya lebih setuju menggunakan istilah pulau terdepan beranda Negara, sehingga butuh perhatian serius pemerintah terhadap pulau-pulau tersebut,’’ tegas Wabup MBD di depan tim Komisi VII DPR RI yang berkunjung ke Maluku di Lantai VI Kantor Gubernur Maluku, Senin (27/4/2015).
Ketika diberikan kesempatan oleh Gubernur Maluku Said Assagaff yang memadu pertemuan tripartij tersebut, Letelay menegaskan kawasan pengelolaan gas alam cair (Liquid Natural Gas) Abadi di Blok Masela, Kecamatan Babar Timur, Kabupaten MBD, seluruhnya telah dipetakan.
’’Seluruh kawasan pengelolaan Blok Masela telah dipetakan, dan saya punya data mengenai hal tersebut. Jika dipetakan, jarak antara lokasi pengeboran di Masela ke Darwin (Australia bagian utara) hanya sekitar 168 mil laut, namun pipanisasinya mencapai lebih dari 500 mil laut, bahkan ada informasi mereka sudah ekplorasi juga di selatan Pulau Moa (MBD),’’ paparnya mengheningkan suasana.
Secara khusus orang nomor dua MBD ini mengungkapkan salah satu penyebab belum dipenuhinya 10 persen Participating Interest (PI) atas pengelolaan Blok Masela oleh Pempus karena personel-personel yang ditempatkan dalam personalia PT Maluku Energi mayoritasnya bukan tenaga-tenaga teknis pertambangan.
Kebanyakan personalianya adalah politisi-politisi yang gagal bertarung dalam pemilihan legislative (pileg) tahun 2004, 2009 dan 2014.
Selain itu, Letelay juga menilai di tubuh Maluku Energi juga terjadi diskriminasi karena tak ada sumber daya manusia (SDM) asal MBD dan MTB, dua kabupaten yang berhak atas PI 10 persen.
’’Kalau mau jujur harusnya di Maluku Energi itu ada SDM dari MBD dan MTB karena Blok Masela itu punya dua kabupaten ini. SDM dari MTB dan MBD yang menguasai pertambangan juga banyak yang tersebar di seluruh Indonesia, bahkan dunia, tetapi kenapa tak dimasukan ke dalam Maluku Energi,’’ keluhnya.
Ketua Komisi A DPRD Maluku Melky Frans meminta Komisi VII DPR RI agar bersikap tegas kepada pempus terkait pemberian 10 persen PI karena sudah lebih dari 7 tahun baik pemerintah, anggota DPRD maupun masyarakat Maluku terus menagih janji pemerintah.
’’Apa perlu kita menuntut merdeka baru pempus dengar teriakan kita. Kan tidak seperti itu. Maluku ini salah penggagas dan pendiri NKRI. Kenapa Aceh dan Papua kalau meminta sesuatu dari Pempus langsung diberikan, sementara kita dari Maluku sulitnya bukan main, padahal PI 10 persen itu hak kita,’’ serunya.
Frans menuding Pempus sengaja menghambat Maluku untuk memperoleh 10 persen dengan pelbagai cara, terutama menyangkut regulasi yang kebanyakan berpihak ke Jakarta.
’’Apa salah kita menuntut hak kita. Waktu Maluku mau meminta PI 10 persen, pempus mengadudomba kita dengan Provinsi NTT. Informasi kalau konflik terus terjadi, Pertamina akan ambi alih.
Waktu pak SBY datang ke Ambon tahun 2011 dan mengatakan Maluku berhak atas PI 10 persen, datang lagi adudomba baru di mana informasinya Bupati MBD dan MTB dilaporkan sedang ribut menyangkut hal ini, padahal semua itu omong kosong. Pempus sebenarnya mau apa?Harusnya yang hadir di sini itu Dirjen agar ketika kita bicara dia itu tahu,’’ tandasnya.
Menurut Frans, jika Pempus terus ingkar janji bisa saja masyarakat Maluku tak akan lagi percaya gubernur dan DPRD Maluku.
’’Kita ini sudah capek bolak balik Jakarta. Kita buang-buang anggaran daerah, tapi pempus selalu janji-janji kosong. Kasihan rakyat kita. Kita ini yang ikut mendirikan Negara ini, tapi Maluku masuk provinsi termiskin nomor 3 di Indonesia. Jadi PI 10 persen itu sangat penting bagi rakyat Maluku untuk membantu mengatasi banyak hal, termasuk mengatasi kemiskinan,’’ paparnya.
Menyangkut kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang ramai diributkan masyarakat Indonesia di provinsi lain, Frans menyentil apa yang dihadapi masyarakat MBD sebagai sebuah ironi.
’’Saya ini dari Kisar. Di sana, harga minyak tanah ukuran satu botol air mineral sedang itu Rp 50 ribu per botol. Bayangkan seperti itu, padahal kita ini wilayah perbatasan, kalau di Timor Leste hanya 15 menit baik melalui udara maupun melalui jalur laut,’’ ungkapnya.
Sebelumnya dua anggota DPRD Maluku Eky Sairdekut dan Lucky Wattimury juga mendesak Pempus agar transparan kepada rakyat Maluku menyangkut PI 10 persen sebab hal itu merupakan hak yang harus diberikan Pempus. ’’Heran. Kita punya hak kok harus mengemis ke Pempus,’’ kata Wattimury.
Gubernur Assagaff juga mengeluhkan hal serupa kepada rombongan Komisi VII DPR RI.
’’Tenaga dokter yang kami tempatkan di pulau-pulau perbatasan itu sangat menderita. Bayangkan kalau mau operasi mereka harus pakai radio untuk kontak teman-teman dokter di Ambon. Warga di Wetar itu seringkali berobadi di Dili. Apa jadinya kalau mereka lihat di Negara tetangga terang berderang sementara di Negara mereka gelap gulita. Belum lagi kalau di sana siaran radio dan televise dari Australia dan Timor Leste itu sangat kuat sekali. RRI dan TVRI itu tak ada di sana,’’ bebernya prihatin.
Assagaff berharap Pertamina bersikap professional dengan membangun Depot Pertamina di MBD sehingga kelangkaan BBM cepat teratasi dan harga BBM cepat turun.
’’Di kita sini memang banyak yang aneh. Harus ada depot Pertamina di MBD sehingga kalau harga BBM di daerah lain naik, di MBD turun dari Rp 50 ribu,’’ desaknya. (bm01)
’’Saya ingin meluruskan kepada bapak ketua dan anggota Komisi VII DPR RI, bapak Gubernur dan seluruh hadirin saat ini, bahwa saya sangat tidak setuju penggunaan istilah pulau terluar, sebab kalau pakai istilah pulau terluar berarti pemerintah tidak akan pernah mempedulikannya. Saya lebih setuju menggunakan istilah pulau terdepan beranda Negara, sehingga butuh perhatian serius pemerintah terhadap pulau-pulau tersebut,’’ tegas Wabup MBD di depan tim Komisi VII DPR RI yang berkunjung ke Maluku di Lantai VI Kantor Gubernur Maluku, Senin (27/4/2015).
Ketika diberikan kesempatan oleh Gubernur Maluku Said Assagaff yang memadu pertemuan tripartij tersebut, Letelay menegaskan kawasan pengelolaan gas alam cair (Liquid Natural Gas) Abadi di Blok Masela, Kecamatan Babar Timur, Kabupaten MBD, seluruhnya telah dipetakan.
’’Seluruh kawasan pengelolaan Blok Masela telah dipetakan, dan saya punya data mengenai hal tersebut. Jika dipetakan, jarak antara lokasi pengeboran di Masela ke Darwin (Australia bagian utara) hanya sekitar 168 mil laut, namun pipanisasinya mencapai lebih dari 500 mil laut, bahkan ada informasi mereka sudah ekplorasi juga di selatan Pulau Moa (MBD),’’ paparnya mengheningkan suasana.
Secara khusus orang nomor dua MBD ini mengungkapkan salah satu penyebab belum dipenuhinya 10 persen Participating Interest (PI) atas pengelolaan Blok Masela oleh Pempus karena personel-personel yang ditempatkan dalam personalia PT Maluku Energi mayoritasnya bukan tenaga-tenaga teknis pertambangan.
Kebanyakan personalianya adalah politisi-politisi yang gagal bertarung dalam pemilihan legislative (pileg) tahun 2004, 2009 dan 2014.
Selain itu, Letelay juga menilai di tubuh Maluku Energi juga terjadi diskriminasi karena tak ada sumber daya manusia (SDM) asal MBD dan MTB, dua kabupaten yang berhak atas PI 10 persen.
’’Kalau mau jujur harusnya di Maluku Energi itu ada SDM dari MBD dan MTB karena Blok Masela itu punya dua kabupaten ini. SDM dari MTB dan MBD yang menguasai pertambangan juga banyak yang tersebar di seluruh Indonesia, bahkan dunia, tetapi kenapa tak dimasukan ke dalam Maluku Energi,’’ keluhnya.
Ketua Komisi A DPRD Maluku Melky Frans meminta Komisi VII DPR RI agar bersikap tegas kepada pempus terkait pemberian 10 persen PI karena sudah lebih dari 7 tahun baik pemerintah, anggota DPRD maupun masyarakat Maluku terus menagih janji pemerintah.
’’Apa perlu kita menuntut merdeka baru pempus dengar teriakan kita. Kan tidak seperti itu. Maluku ini salah penggagas dan pendiri NKRI. Kenapa Aceh dan Papua kalau meminta sesuatu dari Pempus langsung diberikan, sementara kita dari Maluku sulitnya bukan main, padahal PI 10 persen itu hak kita,’’ serunya.
Frans menuding Pempus sengaja menghambat Maluku untuk memperoleh 10 persen dengan pelbagai cara, terutama menyangkut regulasi yang kebanyakan berpihak ke Jakarta.
’’Apa salah kita menuntut hak kita. Waktu Maluku mau meminta PI 10 persen, pempus mengadudomba kita dengan Provinsi NTT. Informasi kalau konflik terus terjadi, Pertamina akan ambi alih.
Waktu pak SBY datang ke Ambon tahun 2011 dan mengatakan Maluku berhak atas PI 10 persen, datang lagi adudomba baru di mana informasinya Bupati MBD dan MTB dilaporkan sedang ribut menyangkut hal ini, padahal semua itu omong kosong. Pempus sebenarnya mau apa?Harusnya yang hadir di sini itu Dirjen agar ketika kita bicara dia itu tahu,’’ tandasnya.
Menurut Frans, jika Pempus terus ingkar janji bisa saja masyarakat Maluku tak akan lagi percaya gubernur dan DPRD Maluku.
’’Kita ini sudah capek bolak balik Jakarta. Kita buang-buang anggaran daerah, tapi pempus selalu janji-janji kosong. Kasihan rakyat kita. Kita ini yang ikut mendirikan Negara ini, tapi Maluku masuk provinsi termiskin nomor 3 di Indonesia. Jadi PI 10 persen itu sangat penting bagi rakyat Maluku untuk membantu mengatasi banyak hal, termasuk mengatasi kemiskinan,’’ paparnya.
Menyangkut kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang ramai diributkan masyarakat Indonesia di provinsi lain, Frans menyentil apa yang dihadapi masyarakat MBD sebagai sebuah ironi.
’’Saya ini dari Kisar. Di sana, harga minyak tanah ukuran satu botol air mineral sedang itu Rp 50 ribu per botol. Bayangkan seperti itu, padahal kita ini wilayah perbatasan, kalau di Timor Leste hanya 15 menit baik melalui udara maupun melalui jalur laut,’’ ungkapnya.
Sebelumnya dua anggota DPRD Maluku Eky Sairdekut dan Lucky Wattimury juga mendesak Pempus agar transparan kepada rakyat Maluku menyangkut PI 10 persen sebab hal itu merupakan hak yang harus diberikan Pempus. ’’Heran. Kita punya hak kok harus mengemis ke Pempus,’’ kata Wattimury.
Gubernur Assagaff juga mengeluhkan hal serupa kepada rombongan Komisi VII DPR RI.
’’Tenaga dokter yang kami tempatkan di pulau-pulau perbatasan itu sangat menderita. Bayangkan kalau mau operasi mereka harus pakai radio untuk kontak teman-teman dokter di Ambon. Warga di Wetar itu seringkali berobadi di Dili. Apa jadinya kalau mereka lihat di Negara tetangga terang berderang sementara di Negara mereka gelap gulita. Belum lagi kalau di sana siaran radio dan televise dari Australia dan Timor Leste itu sangat kuat sekali. RRI dan TVRI itu tak ada di sana,’’ bebernya prihatin.
Assagaff berharap Pertamina bersikap professional dengan membangun Depot Pertamina di MBD sehingga kelangkaan BBM cepat teratasi dan harga BBM cepat turun.
’’Di kita sini memang banyak yang aneh. Harus ada depot Pertamina di MBD sehingga kalau harga BBM di daerah lain naik, di MBD turun dari Rp 50 ribu,’’ desaknya. (bm01)